Nurdiar dan Juanda

Dan aku lihat jingga di angkasa saat Nurdiar, seorang nenek, pulang rumah kontrakannya. Wajah penatnya, keringat yang disekanya dan gemetar tubuhnya menguliti usia yang kian renta. Sementara itu, Juanda, cucunya, merengek minta digendong olehnya. Senja itu, seperti senja-senja sebelumnya, mereka selesai mengais rejeki dari pintu ke pintu.
"Neek, gendong!!!", suara Juanda terdengar untuk kesekian kalinya.
"Nenek capek, nak", jawab sang nenek lirih.
Akhirnya luruh sudah ketegaranku. Kukalungkan kamera mini DV melingkari leher dan lenganku. Toh, gambar aktivitas 'mengemis' mereka sudah cukup, pikirku. Segera kuraih tubuh bocah lima tahun itu ke pelukanku.


"Sini, sama Om aja, ya", dan senyum pun mengembang di bibirnya yang mungil hingga giginya yang ompong kelihatan.

Hidup tidak pernah terlalu kejam buat mereka


Di sisa umurnya, Nurdiar harus bergulat dengan nasib di Jakarta untuk kesembuhan cucunya yang terlahir dalam keadaan cacat. Bukan cacat tangan atau kaki, melainkan ketiadaan anus dan saluran kencing yang tidak sempurna. Untuk buang air kecil, terpaksa sang cucu tercinta harus dipasangi kateter yang entah sampai kapan melingkari lehernya. Bahkan untuk buang air besar, perut sang cucu pun harus dilubangi dan ditempelkan kantung plastik penampung kotorannya. Menyedihkan? tentu bagi yang melihatnya. Bagi mereka berdua, menyandang kateter dan membuang kotoran dari plastik adalah rutinitas yang mereka jalani sehari-hari. Dengan tabah Nurdiar melakukan itu semua, termasuk membuang harga diri meminta-minta sumbangan ke pasar-pasar dan masjid-masjid sambil membawa dokumen yang menunjukkan bahwa cucunya memang cacat. Tanpa ragu-ragu, ia pun akan membuka pakaian cucunya agar orang-orang melihat sendiri keadaannya.
"Saya hanya ingin cucu saya hidup normal sebelum saya mati"

..........................
"Kalau perlu saya datangi rumah Presiden, tinggal beritahu saya di mana alamatnya, saya pasti datang kesana"
..........................
"Pernah saya merasa lelah, lalu saya katakan sama cucu saya, lebih baik kita mati saja berdua"
..........................


Nurdiar pun juga manusia.
Begitupun aku.


Dan, jadilah tiga hari bersama Nurdiar dan Juanda sebuah pengalaman tak terlupakan buatku. Kurekam ekspresi dan perjuangan mereka dari detik ke detik : senyum, tawa, sedih, luka, lelah, keringat dan air mata. Dari balik lensa kamera aku hanya dapat berkaca, dan melihat beberapa hal lebih jelas. Kita tak dapat benar-benar merasakan kebahagian sebelum merasakan penderitaan.

Comments

Popular Posts