Sabri dan Rumah Cut Nyak Dhien
28.01.05
HALO KANG YUNUS PAKABAR MSH IGT GAK SM SABRI TTG CUT NYAKDHIEN?
SMS yang datang tersebut dikirim oleh Bang Sabri yang saya kenal pada saat saya liputan tentang nasib rumah Cut Nyak Dhien pasca gempa dan tsunami yang menghantam Nanggroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004 lalu. Alhamdulillah, rumah tersebut baik-baik saja dan selamat dari hantaman gelombang tsunami, meskipun sempati dilalui air bah di ujung tsunami...Konstruksi rumahnya yang berbentuk rumah panggung memungkinkannya selamat dari genangan air setinggi satu meter. Dan ini merupakan suatu keuntungan, karena saya sempat melihat daerah perkampungan di sekitar rumah tersebut yang rata-rata rumahnya musnah tersapu air. Alhasil, beberapa warga yang tinggal bersebelahan dengan rumah Cut Nyak Dhien menyelamatkan diri ke rumah tersebut. Termasuk Bang Sabri dan keluarganya.
Bang Sabri, pria berusia akhir 20-an, terlihat kurus dan pucat. Maklum, sejak bencana, pengungsi yang ada di sana memang agak kurang makan. Bersama dua puluh orang lainnya, termasuk Puput, seorang anak kelas 3 SD, ia tinggal di rumah Cut Nyak Dhien membawa beberapa helai pakaian dan sedikit perabotan yang dapat diselamatkan. Makan pun kini seadanya.
"Yang penting masih bisa ngisi perut, Bang", ujarnya singkat waktu saya tanya apakah dia puas dengan menu yang jauh dari nutrisi.
Dan siang itu, saya dan Tina, reporter saya, dengan senyum-senyum ikut menikmati menu sederhana yang dihidangkan para penghuni rumah Cut Nyak Dhien. Bukan basa-basi nih, ikan asinnya enak banget.
Sebelumnya, Bang Sabri mengantar kami berkeliling dan menceritakan tentang sejarah rumah yang pernah dibakar oleh Belanda pada masa penjajahan itu. Yang mengagumkan saya, ternyata pengetahuan Bang Sabri tentang sejarah jauh lebih banyak daripada yang saya miliki sebagai seorang jurnalis. Padahal ia hanya mengetahuinya dari cerita yang didongengkan turun-temurun. Memang, untuk urusan mencintai sejarah, rakyat Aceh tergolong sangat konsisten. Dengan fasih Bang Sabri menceritakan momen-momen sejarah yang terekam dalam foto-foto di dinding rumah panggung itu. Dengan fasih pula ia menerangkan satu-persatu ruangan yang ada di rumah itu, padahal ia sama sekali bukan penunggu rumah atau petugas dinas pariwisata yang biasa mengantar turis berwisata kesana.
Keramahan Bang Sabri, dapat saya rasakan juga pada pengungsi lainnya di rumah itu. Hanya ketulusan yang saya rasakan, tanpa basa-basi, tanpa niat mengharapkan sesuatu. Saya merasa berada di rumah sendiri dengan keluarga. Mereka begitu tegar, begitu tabah menjalani kehidupan setelah bencana. Bahkan mereka masih mampu tersenyum dan tertawa.
"Kalau kitanya bersedih terus, hidup gak akan bisa jalan, bang"
"Yang penting sekarang kita usaha aja, cari kehidupan, cari makan. Susah senang kita tanggung sama-sama."
Dan saya cuma bisa mengangguk mengiyakan.
Entah berapa banyak Bang Sabri yang bisa saya temukan selama liputan di Aceh. Yang jelas, semangatnya untuk bertahan sekokoh rumah Cut Nyak Dhien yang sekali lagi menjadi saksi sejarah di tanah Serambi Mekkah.
HALO KANG YUNUS PAKABAR MSH IGT GAK SM SABRI TTG CUT NYAKDHIEN?
SMS yang datang tersebut dikirim oleh Bang Sabri yang saya kenal pada saat saya liputan tentang nasib rumah Cut Nyak Dhien pasca gempa dan tsunami yang menghantam Nanggroe Aceh Darussalam 26 Desember 2004 lalu. Alhamdulillah, rumah tersebut baik-baik saja dan selamat dari hantaman gelombang tsunami, meskipun sempati dilalui air bah di ujung tsunami...Konstruksi rumahnya yang berbentuk rumah panggung memungkinkannya selamat dari genangan air setinggi satu meter. Dan ini merupakan suatu keuntungan, karena saya sempat melihat daerah perkampungan di sekitar rumah tersebut yang rata-rata rumahnya musnah tersapu air. Alhasil, beberapa warga yang tinggal bersebelahan dengan rumah Cut Nyak Dhien menyelamatkan diri ke rumah tersebut. Termasuk Bang Sabri dan keluarganya.
Bang Sabri, pria berusia akhir 20-an, terlihat kurus dan pucat. Maklum, sejak bencana, pengungsi yang ada di sana memang agak kurang makan. Bersama dua puluh orang lainnya, termasuk Puput, seorang anak kelas 3 SD, ia tinggal di rumah Cut Nyak Dhien membawa beberapa helai pakaian dan sedikit perabotan yang dapat diselamatkan. Makan pun kini seadanya.
"Yang penting masih bisa ngisi perut, Bang", ujarnya singkat waktu saya tanya apakah dia puas dengan menu yang jauh dari nutrisi.
Dan siang itu, saya dan Tina, reporter saya, dengan senyum-senyum ikut menikmati menu sederhana yang dihidangkan para penghuni rumah Cut Nyak Dhien. Bukan basa-basi nih, ikan asinnya enak banget.
Sebelumnya, Bang Sabri mengantar kami berkeliling dan menceritakan tentang sejarah rumah yang pernah dibakar oleh Belanda pada masa penjajahan itu. Yang mengagumkan saya, ternyata pengetahuan Bang Sabri tentang sejarah jauh lebih banyak daripada yang saya miliki sebagai seorang jurnalis. Padahal ia hanya mengetahuinya dari cerita yang didongengkan turun-temurun. Memang, untuk urusan mencintai sejarah, rakyat Aceh tergolong sangat konsisten. Dengan fasih Bang Sabri menceritakan momen-momen sejarah yang terekam dalam foto-foto di dinding rumah panggung itu. Dengan fasih pula ia menerangkan satu-persatu ruangan yang ada di rumah itu, padahal ia sama sekali bukan penunggu rumah atau petugas dinas pariwisata yang biasa mengantar turis berwisata kesana.
Keramahan Bang Sabri, dapat saya rasakan juga pada pengungsi lainnya di rumah itu. Hanya ketulusan yang saya rasakan, tanpa basa-basi, tanpa niat mengharapkan sesuatu. Saya merasa berada di rumah sendiri dengan keluarga. Mereka begitu tegar, begitu tabah menjalani kehidupan setelah bencana. Bahkan mereka masih mampu tersenyum dan tertawa.
"Kalau kitanya bersedih terus, hidup gak akan bisa jalan, bang"
"Yang penting sekarang kita usaha aja, cari kehidupan, cari makan. Susah senang kita tanggung sama-sama."
Dan saya cuma bisa mengangguk mengiyakan.
Entah berapa banyak Bang Sabri yang bisa saya temukan selama liputan di Aceh. Yang jelas, semangatnya untuk bertahan sekokoh rumah Cut Nyak Dhien yang sekali lagi menjadi saksi sejarah di tanah Serambi Mekkah.
Comments