Balada tukang becak dan kuli sayur
Untuk memperingati Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-60, sebuah stasiun TV swasta 'tetangga' memutar film re-make yang dulunya pernah dibintangi oleh aktris kawakan (yang kini berjilbab) yaitu Neno Warisman. Ya, bagi anda yang di akhir tahun 80-an sudah 'ngeh terhadap sinetron televisi, anda pasti ingat 'Sayekti dan Hanafi'. Sinetron yang dilahirkan jauh sebelum sinetron-sinetron 'penjual mimpi' merajalela di layar kaca ini sempat pula meraih Piala (saya lupa, Citra apa Vidya, ya?) dan Neno Warisman diganjar sebagai Pemeran Utama Wanita terbaiknya. Memang tidak diragukan, akting mbak Neno dalam sinetron tersebut memang sangat cemerlang.
Tapi, Sayekti dan Hanafi yang ditayangkan tanggal 17 Agustus malam kemarin tidak lagi memasang Neno sebagai Sayekti. Neno memang masih bermain, tetapi sebagai pemeran pembantu. Untuk pemain intinya, dipasang Agus Kuncoro dan Widi Mulia. Sebagai catatan, Agus Kuncoro termasuk pemain lama yang sudah malang melintang di dunia sinetron Indonesia, sementara Widi Mulia adalah salah satu pentolan grup vokal AB Three yang mulai menjajaki karir di bidang seni peran. Kombinasi ini mungkin agak sedikit memaksa, mengingat jam terbang antara Agus Kuncoro dan Widi yang jauh berbeda. Meskipun demikian, dapat terlihat Widi berupaya tampil maksimal, meskipun kalau saya mengingat bagaimana Neno memerankan Sayekti beberapa tahun yang lalu, akting Widi pasti 'kebanting'.
Anyway, Sayekti dan Hanafi menyorot masalah yang dari dulu selalu melekat dengan masyarakat Indonesia : Kemiskinan. Kemiskinan yang membuat sepasang suami-isteri, Sayekti dan Hanafi, harus mengurut dada setelah Sayekti melahirkan anaknya dengan bantuan operasi di sebuah rumah sakit bersalin. Hanafi yang hanya seorang tukang becak dan Sayekti yang buruh angkut sayur di pasar harus merasakan 'mahalnya' layanan di rumah sakit, plus 'jutek'nya perawat yang mengetahui kondisi ekonomi mereka. Bahkan, selembar surat keterangan tidak mampu tetap saja tidak dapat membebaskan mereka dari biaya bersalin yang jumlah mencapai tiga juta rupiah, sebuah angka yang rasanya terlalu tinggi untuk dapat mereka raih dari penghasilan mereka. Surat keterangan tidak mampu itu hanya mengurangi separuh biayanya saja. Alhasil, pasangan ini pun ketar-ketir mencari uang daripada anak mereka disandera pihak rumah sakit. Sialnya, becak yang ditarik Hanafi kena garuk, dan ia harus mengganti uang tebusan becak sebesar satu juta rupiah kepada juragannya. Sementara itu, karena bingung mencari uang, Sayekti nyaris jadi korban kepala pasar yang menaruh hati kepadanya.
Setting kampung kumuh di kawasan Jakarta Utara dengan waktu kejadian menjelang hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI terasa begitu kontras. Ratusan bendera plastik dan di tiang bambu tak dapat mengantarkan senyum di bibir Hanafi, bahkan, ketika seorang bocah mendekatinya sambil meneriakkan "Merdeka, merdeka", Hanafi cuma menatapnya bengong. "GImana mau merdeka dengan enak, orang makan aja susah...", mungkin begitu pikirnya. Menyambut kemerdekaan harusnya orang-orang merasa gembira dan mengungkapkannya dengan penuh sukacita. Tapi, buat mereka yang hanya bertemu nasi satu kali dalam sehari, atau buat mereka yang harus berjalan berkilo-kilo untuk sekedar memperoleh uang recehan, kemerdekaan seakan tidak ada artinya. Buat mereka, kemerdekaan yang sesungguhnya ialah bisa makan dengan teratur, hidup sehat dan bisa bersekolah setinggi-tingginya. Sayekti dan Hanafi hanyalah simbol keadaan sosial di Indonesia yang harusnya tidak dipandang sebelah mata oleh mereka yang duduk di atas sana.
Yah, meskipun tidak seratus persen puas dengan tayangan itu tadi malam, saya merasa bersyukur masih ada tayangan yang setidaknya punya nilai untuk disaksikan.
Tapi, Sayekti dan Hanafi yang ditayangkan tanggal 17 Agustus malam kemarin tidak lagi memasang Neno sebagai Sayekti. Neno memang masih bermain, tetapi sebagai pemeran pembantu. Untuk pemain intinya, dipasang Agus Kuncoro dan Widi Mulia. Sebagai catatan, Agus Kuncoro termasuk pemain lama yang sudah malang melintang di dunia sinetron Indonesia, sementara Widi Mulia adalah salah satu pentolan grup vokal AB Three yang mulai menjajaki karir di bidang seni peran. Kombinasi ini mungkin agak sedikit memaksa, mengingat jam terbang antara Agus Kuncoro dan Widi yang jauh berbeda. Meskipun demikian, dapat terlihat Widi berupaya tampil maksimal, meskipun kalau saya mengingat bagaimana Neno memerankan Sayekti beberapa tahun yang lalu, akting Widi pasti 'kebanting'.
Anyway, Sayekti dan Hanafi menyorot masalah yang dari dulu selalu melekat dengan masyarakat Indonesia : Kemiskinan. Kemiskinan yang membuat sepasang suami-isteri, Sayekti dan Hanafi, harus mengurut dada setelah Sayekti melahirkan anaknya dengan bantuan operasi di sebuah rumah sakit bersalin. Hanafi yang hanya seorang tukang becak dan Sayekti yang buruh angkut sayur di pasar harus merasakan 'mahalnya' layanan di rumah sakit, plus 'jutek'nya perawat yang mengetahui kondisi ekonomi mereka. Bahkan, selembar surat keterangan tidak mampu tetap saja tidak dapat membebaskan mereka dari biaya bersalin yang jumlah mencapai tiga juta rupiah, sebuah angka yang rasanya terlalu tinggi untuk dapat mereka raih dari penghasilan mereka. Surat keterangan tidak mampu itu hanya mengurangi separuh biayanya saja. Alhasil, pasangan ini pun ketar-ketir mencari uang daripada anak mereka disandera pihak rumah sakit. Sialnya, becak yang ditarik Hanafi kena garuk, dan ia harus mengganti uang tebusan becak sebesar satu juta rupiah kepada juragannya. Sementara itu, karena bingung mencari uang, Sayekti nyaris jadi korban kepala pasar yang menaruh hati kepadanya.
Setting kampung kumuh di kawasan Jakarta Utara dengan waktu kejadian menjelang hari peringatan proklamasi kemerdekaan RI terasa begitu kontras. Ratusan bendera plastik dan di tiang bambu tak dapat mengantarkan senyum di bibir Hanafi, bahkan, ketika seorang bocah mendekatinya sambil meneriakkan "Merdeka, merdeka", Hanafi cuma menatapnya bengong. "GImana mau merdeka dengan enak, orang makan aja susah...", mungkin begitu pikirnya. Menyambut kemerdekaan harusnya orang-orang merasa gembira dan mengungkapkannya dengan penuh sukacita. Tapi, buat mereka yang hanya bertemu nasi satu kali dalam sehari, atau buat mereka yang harus berjalan berkilo-kilo untuk sekedar memperoleh uang recehan, kemerdekaan seakan tidak ada artinya. Buat mereka, kemerdekaan yang sesungguhnya ialah bisa makan dengan teratur, hidup sehat dan bisa bersekolah setinggi-tingginya. Sayekti dan Hanafi hanyalah simbol keadaan sosial di Indonesia yang harusnya tidak dipandang sebelah mata oleh mereka yang duduk di atas sana.
Yah, meskipun tidak seratus persen puas dengan tayangan itu tadi malam, saya merasa bersyukur masih ada tayangan yang setidaknya punya nilai untuk disaksikan.
Comments