Saat ia tak mengenaliku lagi
Namanya Nyi Entin. Usianya lebih dari tujuh puluh tahun. Ia termasuk salah seorang sesepuh di Kampung Duri, bersama dengan suaminya, Kong Enjum. Nyi Entin telah tinggal di Kampung Duri sejak kampung itu masih berupa rawa dan hanya beberapa keluarga saja penduduknya. Nyi Entin telah melihat perubahan Kampung Duri dari sebuah kampung yang penuh dengan tanaman duri, hingga akhirnya digarap menjadi kebun kebutuhan dapur, hingga akhirnya penuh dengan rentetan rumah kontrakan dan gang-gang sempit yang hingar-bingar. Ya, Nyi Entin menjadi salah satu saksi sejarah berdiri dan berkembangnya sebuah kampung di kawasan Jakarta Barat.
Secara langsung, Nyi Entin tidak mempunyai hubungan kekerabatan denganku. Namun, ia memiliki hubungan historis dengan ayahku. Dulu, ayahku pernah menikah dengan salah seorang putrinya. Namun pernikahan itu hanya berlangsung singkat, karena belum genap setahun menikah, putrinya meninggal karena sakit. Sejak saat itu, ayah tidak lagi dianggap sebagai menantunya, melainkan anaknya, untuk menggantikan putrinya yang meninggal, yang kebetulan juga anak kesayangannya. Sampai ayah menikah lagi dan dikaruniai lima orang anak, hubungannya dengan Nyi Entin tetap dekat. Sangat dekat, malah, jika dibandingkan dengan anak-anak Nyi Entin yang lain. Rasa sayang Nyi Entin kepada anak-anak ayah juga sangat besar. Termasuk rasa sayangnya kepadaku.
Ya, Nyi Entin sangat menyayangiku. Sebelum bersekolah, aku mengaji kepada Kong Enjum sampai aku masuk Madrasah Ibtidaiyah. Karena aku termasuk murid yang mudah menghapal, Kong Enjum dan Nyi Entin semakin menyayangku. Setiap selesai mengaji, biasanya aku diberi permen atau uang untuk jajan.
Lulus Madrasah Ibtidaiyah, aku melanjutkan pendidikan di Cirebon. Aku masuk ke Madrasah Tsanawiyah dan selanjutnya ke sebuah SMA negeri di sana. Selama enam tahun belajar di Cirebon, aku tinggal di daerah pesantren. Makin bertambah rasa sayang Nyi Entin. Setiap kali aku pulang liburan semester atau lebaran, rumah Nyi Entin adalah tempat yang wajib aku kunjungi di Jakarta. Senyumnya selalu terkembang pada saat aku berkunjung. Dan selalu saja ada yang diberikan kepadaku. Uang, kain sarung, baju koko, peci dan tasbih. Lama-kelamaan aku merasa risih dengan ritual kunjungan itu tanpa alasan yang jelas. Pikirku waktu itu, aku malu kalau harus terus-menerus menerima pemberian Nyi Entin sementara keadaan ekonominya pun lebih memprihatinkan daripada keluarga kami. Mulailah aku enggan disuruh ke rumahnya dan selalu cari-cari alasan untuk tidak pergi ke rumahnya. Tapi, yang terjadi malah Nyi Entin yang mendatangi rumah sambil membawa bingkisan untukku. Kalau sudah begitu, ayah akan memarahiku dan mengatakan bahwa aku tidak tahu diri.
Tahun berlalu. Aku semakin enggan menemui Nyi Entin jika tidak dipaksa oleh ayah. Berbagai alasan aku buat untuk menggugurkan kewajiban menemuinya. Alasan kuliah, banyak kerjaan, ada janji sama teman dan lain-lain sudah terlontar dari mulut ini. Namun, rupanya rasa sayang Nyi Entin kepada keluarga kami memang tidak luntur. Pernah, dalam kondisi sakit dan langkah tertatih-tatih, Nyi Entin datang ke rumah membawakan sebungkus pisang goreng dan bakwan untuk sarapan kami. Ia hanya datang, menyerahkan makanan itu, menanyakan keadaan kami, lalu pulang kembali. Jika ia benar-benar tak kuat untuk keluar rumah, ia menitipkan makanan lewat suaminya atau anaknya.
Sungguh, sampai saat itu, aku tak mengerti mengapa ia rela melakukan hal itu.
Tiga tahun terakhir rumah kami hampir tak pernah disinggahi lagi oleh Nyi Entin. Akibat terjatuh, Nyi Entin harus beristirahat di tempat tidur selama beberapa bulan pada tahun 2002. Saat itu ia masih mengenaliku, meskipun agak lama. Saat aku menjenguknya, ia hanya tersenyum sambil memintaku untuk mendoakannya agar lekas sehat. Kemampuan penglihatan, pendengaran dan ingatannya semakin berkurang.
Tak banyak kabar lagi yang kudengar tentang Nyi Entin sejak itu. Tapi menurut para tetangga, ia telah sembuh namun kekuatannya telah jauh menurun. Ia tak bisa lagi
berjalan jauh. Sehari-hari, ia menikmati hidupnya di rumah saja sambil mendekatkan diri kepada Allah. Sesekali, kami masih menerima pemberian Nyi Entin lewat suaminya.
Ingin rasanya aku sering-sering mengunjunginya. Ayah mungkin sudah bosan menyuruhku melakukannya. Namun, kesibukan bekerja membuatku luput melaksanakan niatku itu. Dan pada Idul Fitri kali ini, niat itu baru tercapai kembali. Sekeluarga kami berlebaran ke rumahnya. Yang pertama sungkem adalah Ayah, Ibu dan kakak perempuanku. Nyi Entin masih mengingat nama-nama mereka. Tibalah giliranku bersalaman dengannya. Namun, matanya terasa begitu asing. Matanya tak mengenaliku, melihat ke wajahku dengan penuh tanda tanya.
"Ini siapa?", tanyanya sambil memegangi tanganku.
"Gua belum pernah liat ni anak", lanjutnya.
Aku hanya diam dan tersenyum padanya. Namun tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Kurasakan seakan-akan ada tamparan keras di pipiku. Tamparan yang seharusnya kuterima dari dulu.
"Itu Yunus, Mak", ayah menimpali pertanyaan Nyi Entin. "Yang dulu mondok di Cirebon."
Sejenak mata Nyi Entin bergerak-gerak mengamati wajahku, mungkin mencoba untuk memanggil ingatannya tentang diriku. Akhirnya,
"Yunus?? Oh, iya. Kenapa kagak pernah maen kesini?", tangan Nyi Entin tetap menggenggam tanganku. Erat, seakan tak ingin melepaskannya.
.......................................
Nyi Entin tidak mengenaliku lagi. Ya, aku tahu ini mungkin pengaruh usianya yang semakin senja. Tapi, aku kehilangan sorot mata Nyi Entin yang dulu selalu bersinar ketika melihatku. Aku kehilangan sorot mata yang penuh rasa sayang itu. Aku memang terlalu sibuk memutuskan tali silaturahmi dengannya. Dan kini aku harus menebus rasa rindu Nyi Entin yang telah menguap semenjak ia lupa padaku.
Maafkan Aku, Nyi Entin.
Jakarta, 4 Syawal 1426 H
Secara langsung, Nyi Entin tidak mempunyai hubungan kekerabatan denganku. Namun, ia memiliki hubungan historis dengan ayahku. Dulu, ayahku pernah menikah dengan salah seorang putrinya. Namun pernikahan itu hanya berlangsung singkat, karena belum genap setahun menikah, putrinya meninggal karena sakit. Sejak saat itu, ayah tidak lagi dianggap sebagai menantunya, melainkan anaknya, untuk menggantikan putrinya yang meninggal, yang kebetulan juga anak kesayangannya. Sampai ayah menikah lagi dan dikaruniai lima orang anak, hubungannya dengan Nyi Entin tetap dekat. Sangat dekat, malah, jika dibandingkan dengan anak-anak Nyi Entin yang lain. Rasa sayang Nyi Entin kepada anak-anak ayah juga sangat besar. Termasuk rasa sayangnya kepadaku.
Ya, Nyi Entin sangat menyayangiku. Sebelum bersekolah, aku mengaji kepada Kong Enjum sampai aku masuk Madrasah Ibtidaiyah. Karena aku termasuk murid yang mudah menghapal, Kong Enjum dan Nyi Entin semakin menyayangku. Setiap selesai mengaji, biasanya aku diberi permen atau uang untuk jajan.
Lulus Madrasah Ibtidaiyah, aku melanjutkan pendidikan di Cirebon. Aku masuk ke Madrasah Tsanawiyah dan selanjutnya ke sebuah SMA negeri di sana. Selama enam tahun belajar di Cirebon, aku tinggal di daerah pesantren. Makin bertambah rasa sayang Nyi Entin. Setiap kali aku pulang liburan semester atau lebaran, rumah Nyi Entin adalah tempat yang wajib aku kunjungi di Jakarta. Senyumnya selalu terkembang pada saat aku berkunjung. Dan selalu saja ada yang diberikan kepadaku. Uang, kain sarung, baju koko, peci dan tasbih. Lama-kelamaan aku merasa risih dengan ritual kunjungan itu tanpa alasan yang jelas. Pikirku waktu itu, aku malu kalau harus terus-menerus menerima pemberian Nyi Entin sementara keadaan ekonominya pun lebih memprihatinkan daripada keluarga kami. Mulailah aku enggan disuruh ke rumahnya dan selalu cari-cari alasan untuk tidak pergi ke rumahnya. Tapi, yang terjadi malah Nyi Entin yang mendatangi rumah sambil membawa bingkisan untukku. Kalau sudah begitu, ayah akan memarahiku dan mengatakan bahwa aku tidak tahu diri.
Tahun berlalu. Aku semakin enggan menemui Nyi Entin jika tidak dipaksa oleh ayah. Berbagai alasan aku buat untuk menggugurkan kewajiban menemuinya. Alasan kuliah, banyak kerjaan, ada janji sama teman dan lain-lain sudah terlontar dari mulut ini. Namun, rupanya rasa sayang Nyi Entin kepada keluarga kami memang tidak luntur. Pernah, dalam kondisi sakit dan langkah tertatih-tatih, Nyi Entin datang ke rumah membawakan sebungkus pisang goreng dan bakwan untuk sarapan kami. Ia hanya datang, menyerahkan makanan itu, menanyakan keadaan kami, lalu pulang kembali. Jika ia benar-benar tak kuat untuk keluar rumah, ia menitipkan makanan lewat suaminya atau anaknya.
Sungguh, sampai saat itu, aku tak mengerti mengapa ia rela melakukan hal itu.
Tiga tahun terakhir rumah kami hampir tak pernah disinggahi lagi oleh Nyi Entin. Akibat terjatuh, Nyi Entin harus beristirahat di tempat tidur selama beberapa bulan pada tahun 2002. Saat itu ia masih mengenaliku, meskipun agak lama. Saat aku menjenguknya, ia hanya tersenyum sambil memintaku untuk mendoakannya agar lekas sehat. Kemampuan penglihatan, pendengaran dan ingatannya semakin berkurang.
Tak banyak kabar lagi yang kudengar tentang Nyi Entin sejak itu. Tapi menurut para tetangga, ia telah sembuh namun kekuatannya telah jauh menurun. Ia tak bisa lagi
berjalan jauh. Sehari-hari, ia menikmati hidupnya di rumah saja sambil mendekatkan diri kepada Allah. Sesekali, kami masih menerima pemberian Nyi Entin lewat suaminya.
Ingin rasanya aku sering-sering mengunjunginya. Ayah mungkin sudah bosan menyuruhku melakukannya. Namun, kesibukan bekerja membuatku luput melaksanakan niatku itu. Dan pada Idul Fitri kali ini, niat itu baru tercapai kembali. Sekeluarga kami berlebaran ke rumahnya. Yang pertama sungkem adalah Ayah, Ibu dan kakak perempuanku. Nyi Entin masih mengingat nama-nama mereka. Tibalah giliranku bersalaman dengannya. Namun, matanya terasa begitu asing. Matanya tak mengenaliku, melihat ke wajahku dengan penuh tanda tanya.
"Ini siapa?", tanyanya sambil memegangi tanganku.
"Gua belum pernah liat ni anak", lanjutnya.
Aku hanya diam dan tersenyum padanya. Namun tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Kurasakan seakan-akan ada tamparan keras di pipiku. Tamparan yang seharusnya kuterima dari dulu.
"Itu Yunus, Mak", ayah menimpali pertanyaan Nyi Entin. "Yang dulu mondok di Cirebon."
Sejenak mata Nyi Entin bergerak-gerak mengamati wajahku, mungkin mencoba untuk memanggil ingatannya tentang diriku. Akhirnya,
"Yunus?? Oh, iya. Kenapa kagak pernah maen kesini?", tangan Nyi Entin tetap menggenggam tanganku. Erat, seakan tak ingin melepaskannya.
.......................................
Nyi Entin tidak mengenaliku lagi. Ya, aku tahu ini mungkin pengaruh usianya yang semakin senja. Tapi, aku kehilangan sorot mata Nyi Entin yang dulu selalu bersinar ketika melihatku. Aku kehilangan sorot mata yang penuh rasa sayang itu. Aku memang terlalu sibuk memutuskan tali silaturahmi dengannya. Dan kini aku harus menebus rasa rindu Nyi Entin yang telah menguap semenjak ia lupa padaku.
Maafkan Aku, Nyi Entin.
Jakarta, 4 Syawal 1426 H
Comments
Ini saatnya berbakti sama Nyi Entin ya,Nus