Rozak

"Nggak perlu air mata buat nunjukin kesedihan, kan?"
Ia berujar lirih. Senyum senantiasa menghias bibirnya sambil sesekali menyalami tamu yang datang ke rumahnya pagi itu. Ya, ada tamu lain yang menyambangi kediaman Rozak, beberapa jam sebelum kerumunan warga satu RW mengalir deras kesana. Tamu itu bernama malaikat maut. Pukul dua lewat sekian dini hari itu, ia menjemput ruh bapak Rozak yang terbaring di dipan. Wajah lelaki enam puluh tahun itu terlihat begitu tenang. Setelah sepuluh tahun bergelut dengan tumor ganas di paha kanannya, mungkin ajal-lah obat yang paling mujarab.

Tetangga yang mengenal baik Cang Hasan, ayah Rozak, sudah mengetahui bahwa pria itu sudah lama ingin mati. Ya, ketika masih teronggok di dipan tua ia sering mengatakan keinginannya mengakhiri hidup. Bukan karena putus asa, tapi karena ia tidak ingin Rozak, anak semata wayang yang selama ini mengurusnya, terbebani oleh kehadirannya.
"Kesian si Rozak. Umurnye udeh 25 tahun. Udah waya'[saat]nye die mikirin kehidupannye sendiri" Aku ingat ia mengatakan itu pada ayahku yang sering mengunjunginya selepas shalat Isya.

"Temen-temen Rozak kan udeh pade nikah. Gua kagak kepengen Cuma gara-gara gua dia kagak nikah-nikah. Kesian tu anak, masih mude tapi udeh kudu ngurusin tua bangka kayak gua. Kalo gue udeh kagak ade kan hidupnye Rozak agak mendingan"
"Ssst. Kagak boleh ngomong begitu, Cang" Ayah mengusap wajah Cang Hasan yang tirus tinggal tengkorak terbungkus kulit.

Dan pagi itu, wajah tirus Cang Hasan terbungkus kafan putih. Ia tidak lagi dibaringkan dalam kamarnya, melainkan di ruang tamu. Tak ada isak tangis wanita, karena Cang Hasan memang hanya tinggal bersama putera semata wayangnya, Rozak. Para pelayat yang membuka tutup wajah Cang Hasan hanya bisa diam dan menggelengkan kepala mengingat beratnya beban Cang Hasan selama hidup. Beberapa pelayat perempuan tampak berbisik-bisik di sudut ruangan.
"Pok. Katanya bininya Cang Hasan ninggalin dia waktu Rozak masih kecil ya."
"Iye. Pan dari muda Cang Hasan emang udah penyakitan. Dulu die pernah sakit paru-paru yang parah. Makanye sampe meninggal kesehatannye ga bisa pulih lagi kaya dulu"
"Terus, keluarganya yang laen pada kemane ya?"
"Ya ntu. Gue juge kagak ngerti. Gue denger katenye die punye masalah sama sodare-sodarenya. Masalah warisan. Cang Hasan kan anak walon babenye. Jadi, die kagak dapet bagian sepeser-peser acan dari warisan babenye"
"Kesian banget ya, Cang Hasan. Kesian juga nasib si Rozak ya Pok"
"Iye...ssst, udeh ah. Kagak enak ngomongin orang meninggal pas lagi ngelayat gini"

Aku hanya geleng-geleng kepala mendengarkan mereka 'ngrumpi, sambil terus membaca surat Yasin di samping jenazah. Sementara Rozak masih sibuk di depan menyambut pelayat yang terus berdatangan. Sesekali Rozak dipeluk sambil diberikan wejangan agar tabah menghadapi musibah ini. Rozak masih seperti tadi, menebar senyum kepada setiap orang yang datang. Dan jika kawan Rozak menanyakan kenapa ia tidak tampak bersedih, Rozak kembali mengulangi kalimat yang sama.
"Nggak perlu air mata buat nunjukin kesedihan kan?"

Cang Hasan memang termasuk orang yang cukup di hormati di kampung. Lebih dari seperempat abad ia abdikan hidupnya untuk menjadi merbod [pengurus masjid] di masjid kampung kami. Ia juga kenal baik dengan semua ustadz dan pemuka masyarakat. Dengan tetangga-tetangganya apa lagi. Tidak heran jika siangnya banyak sekali orang yang mengantar jenazahnya menuju pembaringan terakhirnya. Pak RW dan ustadz Rohim adalah dua orang yang berada di barisan paling depan, berjalan sambil menggandeng tangan Rozak. Ustadz Rohim terus membisikkan sesuatu kepada Rozak. Rozak tetap bergeming dan tersenyum.

Tiba di Kober [begitu istilah orang kampung kami menyebut lahan pekuburan umum], arak-arakan jenazah segera menuju ke sebuah liang yang telah disediakan. Lantunan kalimat tahlil terus berkumandang mengiringi wajah-wajah sendu pengantarnya. Setelah tiba di liang kubur, Ustadz Rohim memberi isyarat kepada pengantar bahwa ia akan memberikan sepatah-duapatah kata. Tentu saja, terlebih dahulu jenazah akan dikumandangkan adzan. Suasana menjadi sangat khidmat. Aku mengambil posisi di samping Rozak, merangkulnya.

"Saudara-saudara yang terhormat...hari ini kita berkumpul di sini untuk mengantarkan kepulangan salah seorang hamba Allah yang kita kenal baik, yaitu Cang Hasan"
Ustadz Rohim memulai sambutannya.
"....Karena selama hidupnya, almarhum telah banyak menjalani kepahitan dengan sabar, maka semoga Allah memberikan balasan berupa kelapangan dalam kuburnya..."
Dan hadirin pun terhipnotis dalam diam.
"Semoga kehidupan beliau yang penuh kesederhanaan dan bersahaja bisa menjadi panutan bagi kita yang masih hidup. Dan bagi generasi muda, semoga sosok Rozak, anak Cang Hasan dapat menjadi contoh nyata anak yang berbakti kepada orang tuanya."

Tiba-tiba saja tangan Rozak gemetar.

"Kita semua tahu bagaimana Rozak selalu menemani Cang Hasan dalam kesakitannya. Dan kita yakin bahwa arwah Cang Hasan akan merasa bahagia apabila Rozak bisa melanjutkan hidupnya dengan baik"

Tangan Rozak makin gemetar. Tanpa diduga Rozak berlari menembus kerumunan pengantar jenazah. Ia berlari seperti kesetanan. Aku berusaha mengejarnya. Suasana menjadi ramai dengan gumam-gumam keheranan. Seluruh mata tertuju pada Rozak yang berlari kencang dan aku, yang mengejarnya. Rozak menuju ke sumur tua yang berada di musholla kober. Dari sikap tubuhnya, tampak jelas ia ingin melakukan sesuatu yang gila. Ia ingin menceburkan diri kedalamnya.!!!

Tepat pada saat ia mencondongkan badan ke dalam sumur, aku berhasil menangkap kedua kakinya. Kami pun terlibat dalam pergumulan tarik-menarik. Entah, kekuatan apa yang merasuki Rozak. Tenaganya menjadi sangat kuat. Untunglah beberapa lelaki segera datang dan memberi bantuan padaku.
"Istighfar, Zak...istighfar." Ucapku dengan keras di telinganya.
"Nyebut, Zak"
"Inget sama babe lu"
"Malu Zak diliat orang"
Yang lainnya menimpali.

Rozak mendengus. Sejurus kemudian dia sesenggukan. Lalu tertawa geli. Setelah itu sesenggukan lagi.
"Orang tua keparat!!!"
Umpatnya dengan suara keras. Kontan kami semua terkejut. Ustadz Rohim dan semua yang berada di sekitar liang kuburan Cang Hasan menoleh ke arah kami.
"Haram Jadah!!!" Rozak kembali mengumpat. Umpatan barusan adalah umpatan terkasar yang bisa diucapkan oleh seorang Rozak. Aku jadi tidak mengerti.

"Zak. Kenapa sih lu? Inget. Ini pemakaman babe lu. Lu jangan malu-maluin diri sendiri, ngapa" Aku berusaha mengingatkan Rozak bahwa umpatannya akan menghilangkan simpati orang lain kepadanya. Tanganku masih memegang erat kedua kakinya. Dari jauh, Ustadz Rohim melambaikan tangan ingin tahu apa yang terjadi pada Rozak. Aku membalas dengan mengayunkan tangan kananku beberapa kali mengatakan bahwa tidak ada yang serius. Tidak ada??? Bercanda, kali. Seorang anak yang baik bertingkah aneh saat pemakaman ayahnya adalah hal yang sangat ganjil. Rozak yang aku kenal tidak akan melakukan hal-hal yang akan mempermalukan dirinya sendiri. Apalagi di saat seperti ini.

"Mestinya udah gua bunuh dari dulu tua bangka gak tau diri itu. Selama hidup cuma bisa nyusahin darah dagingnya sendiri"
Kini Rozak meraung sambil menangis.
"Mestinya pertama kali dia minta mati, dulu gua kabulin. Gua nggak nyangka, harapan gua buat dapetin warisan dari dia sama sekali nggak ada..."
Orang-orang tertegun.
Aku menarik lengan Rozak hingga wajah kami saling berhadapan.
"Heh. Istighfar, Zak. Tanah kuburan babe lu aja masih belum diturunin. Elu udah ngomong ngungkit-ngungkit warisan segala. Pamali, tau."
Rozak seperti tidak mendengarnya.
"Padahal, duit gua semuanya udah gua habisin buat ngurusin penyakitnya, bolak-balik kesana sini. Sekarang, bandanya aja udah sama sekali gak tersisa. Bahkan, belakangan gua baru tau kalo rumah yang kita tempatin ternyata juga udah bukan punya babe. Semua banda udah diserahkan ke bini muda yang bahkan gua sendiri nggak pernah tau. Dasar tua bangka keparat."
"SSsshhh" aku mengguncang tubuh Rozak sekali lagi. Kali ini aku tidak dapat berkata-kata lagi. Ustadz Rohim memberikan isyarat bahwa tanah kuburan akan segera di turunkan. Kami yang mengelilingi Rozak saling berpandangan. Lalu, secara hampir bersamaan kami menganggukkan kepala.

"Makanya semalam gua putuskan untuk mengakhiri semuanya, Nus. Gua pingin penderitaan babe selesai. Tapi sebenernya gua pingin penderitaan gua yang selesai. Gua juga mau melanjutkan hidup gua sendiri"
"Zak..maksud lu apa?"
Rozak mendehem sekali. Kemudian ia tersenyum dan terkekeh.
"Daripada gua lama-lama ngurus orang yang enggak jelas juntrungannya kapan sembuh, ya mending gua matiin"
"Astaghfirullahal 'azhiim" Aku dan orang-orang di sekelilingku menggumam kaget.
......
Di kejauhan, beberapa penggali kubur masih melaksanakan tugasnya.
......
Di rumah Rozak, seekor kucing ditemukan mati di dapur setelah memakan sepiring nasi dengan ikan bandeng yang tersisa di kolong dipan Cang Hasan. Sementara itu, seorang wanita berumur 30-an datang bersama anak lelaki berumur lima tahun.
"Betul ini rumahnya Bang Hasan?" tanyanya kepada ibu-ibu yang tengah membereskan ruangan tempat persemayaman jenazah pagi harinya.
"Betul, Pok. Ngomong-ngomong Mpok siapanya Cang Hasan?"
"Saya isterinya, dan ini anaknya"
Berpasang-pasang matapun saling bertatapan tak percaya.
"Menurut surat wasiat ini, saya berhak nempatin rumah ini setelah Bang Hasan meninggal." Lanjutnya sambil menunjukkan map hijau berisi surat wasiat bersegel kepada salah seorang ibu.
.......
Di kantor Polsek Cengkareng, Rozak diperiksa untuk dimintai keterangannya sehubungan dengan pengakuan mengejutkannya.
.......
Malam harinya, di rumah Cang Hasan tak ada tahlilan sebagaimana lazimnya orang Betawi setelah meninggal. Hanya ada wanita 30-an yang tengah mendongengkan sesuatu kepada anaknya.
"Sekarang bapak lu udah nggak ada. Tapi gak usah khawatir. Lagipula dia bukan bapak beneran lu kok. Yang penting sekarang kita udah punya rumah ya, Sayang"
Anak itu hanya menatapnya tak mengerti.
"Memangnya bapak beneran Adi ada di mana, Mak?"
"Nanti juga lu bakal ketemu sama dia. Sekarang dia lagi banyak urusan..."
Wanita itu menerawang. Mengingat seraut wajah yang ia cintai. Yang telah menanamkan benih dalam rahimnya. Yang tak jadi menikahinya karena uangnya habis untuk mengurus ayahnya yang sakit-sakitan.

Ya, wanita itu mengingat Rozak, ayah dari anaknya.

Comments

Popular Posts