Ode Buat Tempe Goreng Emak
Tempe. Akhirnya hari ini dia hadir lagi di meja saya. Warna coklat keemasan setelah digoreng, atau tubuhnya yang terbalut tepung terigu selalu menggoda selera untuk menyantapnya. Setelah beberapa hari menghilang entah kemana. Sebenarnya sih, menghilang bukan atas keinginannya. Namun, tempe dan sepupunya, tahu, memang sengaja di'hilang'kan dari peredaran oleh pembuatnya. Bukan atas keinginan mereka pula jika akhirnya makanan asli Indonesia ini (meskipun akhirnya Jepang dengan 'gegabah' mempatenkannya) mengalami hiatus. Ya, lonjakan harga kedelai-bahan baku pokoknya - yang semakin tak terkendali membuat produsen tempe, tahu dan lain-lain menjerit. Bulan Januari 2008 ini saja, harganya mencapai 7.000-7.600 rupiah perkilogramnya, dari sebelumnya 3.500-4.000 rupiah. Mereka pun bagai dihadapkan pada buah simalakama.
"Kalo kita naikin harga, tempe gak bakal laku. Masyarakat lebih milih beli ikan atau telur buat lauk", ujar seorang wanita pembuat tempe saat diwawancara oleh salah satu rekan saya.
"Kalo harganya nggak dinaikin, kitanya yang rugi, mas. Ini aja udah nombok terus", lanjutnya lagi.
Namun, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak dapat menyiasati kondisi, sesulit apapun. Dari dulu kita memang mampu bertahan dalam keadaan yang serba memprihatinkan, sehingga insting kreatif selalu ada di kepala kita. Termasuk para produsen tempe. Awalnya, kemunculan tempe di meja makan sempat membuat saya bertanya-tanya, sebab setahu saya harga kedelai masih bertengger di angka yang sama dan belum ada tanda-tanda mengalami penurunan. Namun, ketika saya menonton berita feature di televisi tentang produsen tempe yang tidak jadi sekarat, mata saya terbuka bahwa selalu ada jalan untuk mengakali kesusahan. Ya, dengan sedikit modifikasi, jadilah tempe singkong, tempe ampas tahu, bahkan tempe dari sejenis biji-bijian yang entah saya lupa apa namanya. Tapi, seenak-enaknya produk ciptaan baru ini, rasanya tentu tak seenak tempe dengan komposisi kedelai murni, bukan? Jujur sih, tempe yang saya rasakan hari ini agak sedikit hambar dan kurang gurih. Mungkin parutan singkong yang ada di dalamnya membuat kelezatannya menjadi berkurang. Namun, masih untung saya bisa merasakannya tanpa harus mengeluh, sebab di luar sana, para pembuat tempe tetap harus memutar otak untuk menciptakan tempe kreasi baru yang enak dan terjangkau.
Betapa saya kecewa pada pihak-pihak yang terkait dengan kondisi menyedihkan terhadap kedelai sekarang ini. Betapa saya marah kepada para spekulan yang dengan tega memainkan harga seenak perutnya. Betapa pemerintah tidak peka menyikapi terjepitnya masyarakat atas naiknya harga kedelai dan bermacam-macam kebutuhan pokok mereka. Betapa berharganya seonggok tempe di meja makan saya pagi ini dan akhirnya Emak bisa tersenyum karena kali ini gorengan tempenya ludas dinikmati seluruh anggota keluarganya, tak seperti biasanya.
"Kalo kita naikin harga, tempe gak bakal laku. Masyarakat lebih milih beli ikan atau telur buat lauk", ujar seorang wanita pembuat tempe saat diwawancara oleh salah satu rekan saya.
"Kalo harganya nggak dinaikin, kitanya yang rugi, mas. Ini aja udah nombok terus", lanjutnya lagi.
Namun, bukan orang Indonesia namanya kalau tidak dapat menyiasati kondisi, sesulit apapun. Dari dulu kita memang mampu bertahan dalam keadaan yang serba memprihatinkan, sehingga insting kreatif selalu ada di kepala kita. Termasuk para produsen tempe. Awalnya, kemunculan tempe di meja makan sempat membuat saya bertanya-tanya, sebab setahu saya harga kedelai masih bertengger di angka yang sama dan belum ada tanda-tanda mengalami penurunan. Namun, ketika saya menonton berita feature di televisi tentang produsen tempe yang tidak jadi sekarat, mata saya terbuka bahwa selalu ada jalan untuk mengakali kesusahan. Ya, dengan sedikit modifikasi, jadilah tempe singkong, tempe ampas tahu, bahkan tempe dari sejenis biji-bijian yang entah saya lupa apa namanya. Tapi, seenak-enaknya produk ciptaan baru ini, rasanya tentu tak seenak tempe dengan komposisi kedelai murni, bukan? Jujur sih, tempe yang saya rasakan hari ini agak sedikit hambar dan kurang gurih. Mungkin parutan singkong yang ada di dalamnya membuat kelezatannya menjadi berkurang. Namun, masih untung saya bisa merasakannya tanpa harus mengeluh, sebab di luar sana, para pembuat tempe tetap harus memutar otak untuk menciptakan tempe kreasi baru yang enak dan terjangkau.
Betapa saya kecewa pada pihak-pihak yang terkait dengan kondisi menyedihkan terhadap kedelai sekarang ini. Betapa saya marah kepada para spekulan yang dengan tega memainkan harga seenak perutnya. Betapa pemerintah tidak peka menyikapi terjepitnya masyarakat atas naiknya harga kedelai dan bermacam-macam kebutuhan pokok mereka. Betapa berharganya seonggok tempe di meja makan saya pagi ini dan akhirnya Emak bisa tersenyum karena kali ini gorengan tempenya ludas dinikmati seluruh anggota keluarganya, tak seperti biasanya.
Comments
tempenya mana tempenyaaaaa
HEH?!
-imgar-