Interlude

Lelaki tua itu duduk di kursi kayu yang sudah terkelupas catnya. Ia memandangku. Sambil mengepulkan asap kaung yang kian tebal di atmosfer ruang tamu.
Tanyalah aku sesuatu
Mulutnya sibuk membuat lingkaran-lingkaran asap kecil di depan mukanya. Satu, dua, tiga lingkaran dan semua terhempas nafas yang dihembuskannya.

Seperti pikiranku saat itu. Aku hanya bisa diam tak menjawab permintaannya. Waktupun terasa begitu lama tiap kali kami mencoba bicara. Entah dinding apa yang melapisi jarak kami yang cuma beberapa jengkal ini.

Sudah kuduga. Kau terlalu angkuh untuk menyapaku; terlalu angkuh untuk sekedar bertanya "apa kabar?"; terlalu angkuh untuk mengakui bahwa aku pernah mendidikmu.

Aku diam. Untuk kesekian kalinya.
Dia pun melangkah masuk ke peraduannya tanpa menoleh lagi ke arahku.

Ayah...!
Ssst bisiknya sambil mengatupkan jari di depan bibirnya.
Waktumu untuk bertanya sudah habis. Aku mau istirahat

Lelaki itu menutup pintu, pelan. Dapat kutebak hatinya pasti kecewa karena anaknya yang pulang dari jauh tak pernah mau menanyakan kabarnya. Padahal telah lama ia menantikan kehadiranku, calon penerusnya yang selalu dibangga-banggakannya.

Maafkan aku, Yah.." bisikku dalam hati.

Rupanya malam itu pertemuanku yang terakhir dengannya. Esok pagi, kakak perempuanku menemukannya terbujur kaku di pembaringannya tanpa seorangpun menemani kepergiannya

Comments

Popular Posts