Imaizumi

Imaizumi Koichi, pria jepang umur 20-an, duduk di antara moderator diskusi dan seorang rekannya, Iwasa. Dalam balutan t-shirt hijau panjang tak nampak bahwa ia adalah seorang produser film. Ia lebih terlihat seperti mahasiswa dan anak rumahan. Di sesi diskusi dan tanya jawab seusai pemutaran film-film pendeknya yang dirangkum dalam antologi berjudul "Queer Boys and Girls on the Shinkansen", ia lebih banyak berdialog dengan moderator dan rekannya itu. Tatapan matanya hampir tak pernah menyapu pandang ke arah audiens yang jumlahnya tak seberapa di depannya. Pemalu. Suaranya pun hampir tidak terdengar, hanya moderator dan rekannya saja yang tahu pasti apa yang dia ucapkan dalam bahasa inggris yang lumayan lancar.

Saya kagum dengan sosoknya. Di usianya yang masih muda, ia telah mampu mewujudkan keinginannya untuk menampilkan apa yang ada dalam pikirannya ke media sinema. Walaupun untuk itu ia harus merogoh koceknya sendiri. Ia juga aktif mengirimkan hasil karyanya ke festival-festival film Independen di luar negeri, suatu bentuk perjuangan agar orang mengakui eksistensiny sebagai seorang pembuat film.

Film yang diproduksinya terdiri dari banyak tema dan gaya. Kadang begitu sederhana, ada juga yang 'njlimet. Ada yang bercerita tentang seseorang yang mencari sosok menawan di pintu kereta dan mendekatinya. Ada yang menampilkan adegan percintaan seorang pria dengan seorang gigolo. Ada film yang dibuat seperti video klip. Ada juga film animasi. "Saya memberikan kebebasan pada para sutradara untuk mengekspresikan apa yang diinginkannya", ujarnya, tanpa ekspresi.

Wajahnya sempat muncul di beberapa film. Mungkin di sana ia bisa menjadi seseorang yang berbeda, bisa lebih bebas, bisa lebih banyak tersenyum, bisa berteriak lantang, bisa melenguh kepuasan. Tapi, begitu kembali ke Imaizumi yang sehari-hari, yang kembali terlihat adalah Imaizumi yang pemalu, jarang senyum, bermata tajam, cerdas dan ambisius.

Wah, saya jadi pingin memproduksi film sendiri juga....

Comments

Popular Posts