Tentang api

Beberapa malam yang lalu aku kembali merasakan panas yang pernah membakar rumahku setahun yang telah lewat. Sangat panas, sampai-sampai aku tak dapat merasakan ujung jari tangan dan kakiku. Bukan, bukan karena rumahku tak dilengkapi Air Conditioner (memang tidak, sih, tapi at least ada kipas angin yang cukup menyejukkan ruangan tidurku nan sempit itu) atau karena api kebakaran melahapnya. Panas yang kurasakan adalah panas dari emosi yang menyelimuti beberapa penghuni di dalamnya. Begitu panasnya hingga aku tidak berani mendekati mereka karena khawatir akan ikut tersulut. Namun, emosi yang telah merajai dua orang terkasihku (ayah dan abangku) tak urung memaksaku memadamkannya. Di satu sisi, api amarah yang menjuntai dari ayahku menarikku kedalam kobaran yang begitu perkasa. Dia ayahku, dan aku menghormati, menyayangi serta tunduk padanya. Di sisi lain, kobaran api dari amarah abangku melingkupi naluriku sebagai seorang adik. Kami sama-sama anak ayah, dan perasaan kami pasti sama.

Aku tak ingin memilih untuk memadamkan satu api dan membiarkan yang lainnya tetap menyala. Jika kusiram ayah, maka aku akan dianggap keturunan tak berbudi. Sebaliknya, jika kusiram abang, maka aku akan dianggap memutuskan ikatan persaudaraan.

Dan, jadilah...aku berdiri di tengah neraka yang menjelma di dalam rumahku. Neraka yang tercipta karena keinginan mendapatkan damai dari gemerincing rupiah dan sejengkal tanah. Neraka yang mampu menghanguskan keharmonisan yang telah terkoyak di sana-sini. Neraka yang dapat muncul sewaktu-waktu tanpa pernah diperkirakan sebelumnya. Neraka yang menyulap semua tawa menjadi amarah, meluluhlantakkan hati nan rentan terhadap cabaran. Neraka yang sering memaksaku pergi dan berlari dari sana demi mencari setetes embun menyejukkan.

Dan malam itu aku memaksa mataku untuk terpejam dan bermimpi tentang sebuah istana di mana kami bisa bergandengan tangan bersama meski hanya beberapa saat saja.

Comments

Popular Posts