Mayat di pinggir kali
Kemarin siang sesosok mayat pria ditemukan mengambang di kali. Pria setengah baya yang malang itu mengenakan pakaian lengkap yang cukup rapi: kemeja lengan panjang, jam tangan bermerek, sepatu mahal, pokoknya necis lah. Polisi memastikan dari kondisi mayat tersebut, korban telah meninggal sekitar satu malam. Tak ada tanda-tanda kekerasan di tubuhnya. Kesimpulan sementara, mayat malang itu meninggal karena : BUNUH DIRI!!!
Hmmm, semua barang korban utuh, termasuk uang, kartu kredit dan surat-surat berharga yang tersimpan di sakunya. Di KTP-nya tertera sebuah nama, sebut sajalah ia Tn. X, bekerja sebagai seorang dokter. Dari KTP itu pula diketahui ia tinggal di salah satu perumahan mewah di kawasan Jakarta Selatan. "Gila, orang kaya kok bunuh diri...", gumam seorang ibu yang ikut menonton mayat itu. Gila? mungkin. Tapi, si mayat pasti punya alasan sendiri kenapa ia memutuskan mengakhiri hidupnya.
Polisi makin gerah melihat kerumunan yang semakin rapat ke arah mayat. "Minggir, minggir...biarkan kami melakukan tugas kami, pak, bu...", teriak seorang petugas yang wajahnya memerah kepanasan. Maklumlah, jam 1 siang, gitu loh. Tak berapa lama kemudian, mayat itu dipindahkan ke tempat yang agak teduh dan polisi menggeledah isi saku celana untuk memperoleh lebih banyak keterangan mengenai korban. Yes. Ada sebuah buku alamat kecil yang terbungkus plastik. Terbungkus plastik? Ya. Seakan-akan memang sengaja diletakkan di sana supaya buku alamat itu tidak rusak terendam air. Dengan Hati-hati polisi membuka bungkusan plastik itu sambil berharap akan menemukan sebuah nama yang bisa dikaitkan dengan keberadaan korban.
Lembar pertama kosong. Lembar kedua, ketiga dan seterusnya berisi angka-angka yang tidak jelas. Tidak jelas karena hanya berupa angka 4, 34, 67, 3, 9 dan semuanya tak disertai sebuah nama pun. Namun, di lembar terakhir ada sebuah nama dan sebuah nomor yang diyakini polisi sebagai nomor telepon seluler. Nama seorang wanita. Segera saja seorang polisi yang tampaknya lebih senior menghubungi nomor tersebut menggunakan HP miliknya. Ia mengabarkan kepada pemilik nomor tersebut tentang penemuan mayat pria itu dan meminta yang bersangkutan untuk datang mengidentifikasi mayat di rumah sakit C. Tampaknya si penerima telepon mengerti dan polisi itu menganggukkan kepala sambil mengucapkan salam perpisahan.
Tak lama kemudian, mayat itu dibawa pergi dalam sebuah ambulan menuju rumah sakit C yang tadi disebutkan oleh petugas polisi. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai pria yang mengambang itu. Kenapa ia bunuh diri? Kenapa di buku alamatnya hanya ada angka-angka dan sebuah nama?
Yang jelas, siang itu saya hanya bisa menerka bahwa ia merasa mengakhiri hidup adalah satu-satunya jawaban untuk masalah yang tengah ia hadapi, apapun itu. Namun, saya berharap dengan semua masalah yang tengah saya hadapi, saya tidak terlalu cepat mengambil keputusan seperti itu. Kata orang : La Vita E Bella, life is beautiful. Sayang, saya belum sepenuhnya bisa mengatakan itu, sebab bagi saya, hidup baru separuh indah, separuh lagi ... suram dan penuh ketidakpastian.
Hmmm, semua barang korban utuh, termasuk uang, kartu kredit dan surat-surat berharga yang tersimpan di sakunya. Di KTP-nya tertera sebuah nama, sebut sajalah ia Tn. X, bekerja sebagai seorang dokter. Dari KTP itu pula diketahui ia tinggal di salah satu perumahan mewah di kawasan Jakarta Selatan. "Gila, orang kaya kok bunuh diri...", gumam seorang ibu yang ikut menonton mayat itu. Gila? mungkin. Tapi, si mayat pasti punya alasan sendiri kenapa ia memutuskan mengakhiri hidupnya.
Polisi makin gerah melihat kerumunan yang semakin rapat ke arah mayat. "Minggir, minggir...biarkan kami melakukan tugas kami, pak, bu...", teriak seorang petugas yang wajahnya memerah kepanasan. Maklumlah, jam 1 siang, gitu loh. Tak berapa lama kemudian, mayat itu dipindahkan ke tempat yang agak teduh dan polisi menggeledah isi saku celana untuk memperoleh lebih banyak keterangan mengenai korban. Yes. Ada sebuah buku alamat kecil yang terbungkus plastik. Terbungkus plastik? Ya. Seakan-akan memang sengaja diletakkan di sana supaya buku alamat itu tidak rusak terendam air. Dengan Hati-hati polisi membuka bungkusan plastik itu sambil berharap akan menemukan sebuah nama yang bisa dikaitkan dengan keberadaan korban.
Lembar pertama kosong. Lembar kedua, ketiga dan seterusnya berisi angka-angka yang tidak jelas. Tidak jelas karena hanya berupa angka 4, 34, 67, 3, 9 dan semuanya tak disertai sebuah nama pun. Namun, di lembar terakhir ada sebuah nama dan sebuah nomor yang diyakini polisi sebagai nomor telepon seluler. Nama seorang wanita. Segera saja seorang polisi yang tampaknya lebih senior menghubungi nomor tersebut menggunakan HP miliknya. Ia mengabarkan kepada pemilik nomor tersebut tentang penemuan mayat pria itu dan meminta yang bersangkutan untuk datang mengidentifikasi mayat di rumah sakit C. Tampaknya si penerima telepon mengerti dan polisi itu menganggukkan kepala sambil mengucapkan salam perpisahan.
Tak lama kemudian, mayat itu dibawa pergi dalam sebuah ambulan menuju rumah sakit C yang tadi disebutkan oleh petugas polisi. Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai pria yang mengambang itu. Kenapa ia bunuh diri? Kenapa di buku alamatnya hanya ada angka-angka dan sebuah nama?
Yang jelas, siang itu saya hanya bisa menerka bahwa ia merasa mengakhiri hidup adalah satu-satunya jawaban untuk masalah yang tengah ia hadapi, apapun itu. Namun, saya berharap dengan semua masalah yang tengah saya hadapi, saya tidak terlalu cepat mengambil keputusan seperti itu. Kata orang : La Vita E Bella, life is beautiful. Sayang, saya belum sepenuhnya bisa mengatakan itu, sebab bagi saya, hidup baru separuh indah, separuh lagi ... suram dan penuh ketidakpastian.
Comments