An evening with Daisy...hypnotized
"Ya, konsentrasi...perhatikan jari kamu. Fokuskan ke sana. Turuti saja naluri kamu. Jika kamu mengantuk, ikuti saja...pejamkan mata kamu. Kalau kamu merasa pusing, ikuti saja rasa pusing itu. Tidur dalam-dalam, pejamkan mata kamu, karena kamu merasa sangat santai..."
"clik..", jentikan jari lentik Daisy Weku berbunyi di telinga saya. Presenter reportase Trans TV ini sedang mencoba untuk menghipnotis saya yang sore itu merasa penasaran dengan kemampuannya dalam menghipnotis orang. Kemampuan menghipnots salah seorang korbannya, telah ditayangkan di berita Reportase petang sore kemarin. Kesimpulannya, Daisy memang benar-benar punya daya hipnotis (ini di luar daya hipnotis wajahnya yang cantik, lho).
Seharusnya saya merasa ngantuk, atau pusing atau malah tertidur setelah jentikan jemari Daisy bermain di telinga saya. Tapi, kok saya nggak merasakan apa-apa ya? apa saya kurang konsentrasi? apakah tarian jari telunjuk Daisy di depan mata saya memang tidak ada pengaruhnya? Wallahu A'lam. Dan saya akan cari kesempatan lain untuk melakukannya.
Sementara itu, di sebuah sudut kota Jakarta yang lain, praktek hipnotisme telah memakan begitu banyak korban. Pria, wanita, gadis, jejaka, orang kaya, orang biasa, siapapuan bisa jadi korbannya. Masih segar di ingatan saya, sebuah email dari miling list teman saya mengabarkan bahwa seorang wanita dan suaminya jadi korban komplotan penghipnotis yang beraksi di kawasan Semanggi. Dalam kejadian itu, harta benda dan kehormatannya terenggut di depan mata suaminya sendiri, tanpa ia dan suaminya merasa terpaksa sedikitpun. Di tempat yang lain, seorang pengurus masjid terpaksa menanggung malu karena uang kas masjidnya 'raib' secara tidak sadar dari rekening tabungan masjidnya. Di tempat yang lain lagi, seorang pengojek merelakan saja ketika seorang pelaku hipnotis 'meminta' sepeda motornya.
"Mau pulang ke mana, Mas?", tanya seorang pria berjaket hitam di bus kota jurusan Grogol-Kampung Rambutan pada saat saya pulang kantor malam harinya. Pertanyaan itu biasa, tapi tepukan di bahu saya menjadi tidak biasa karena setelah itu saya seakan terpaku kepadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, saya tepuk bahu pria itu dan menanyakan hal yang sama.
"Mas sendiri mau pulang ke mana?"
Dia cuma tersenyum. Diam dan hanya jarinya yang menunjuk ke depan seakan mengisyaratkan, "Saya mau turun di depan."
Saya senyum, lalu buang muka dan tak menghiraukan lagi ia bicara apa...
"clik..", jentikan jari lentik Daisy Weku berbunyi di telinga saya. Presenter reportase Trans TV ini sedang mencoba untuk menghipnotis saya yang sore itu merasa penasaran dengan kemampuannya dalam menghipnotis orang. Kemampuan menghipnots salah seorang korbannya, telah ditayangkan di berita Reportase petang sore kemarin. Kesimpulannya, Daisy memang benar-benar punya daya hipnotis (ini di luar daya hipnotis wajahnya yang cantik, lho).
Seharusnya saya merasa ngantuk, atau pusing atau malah tertidur setelah jentikan jemari Daisy bermain di telinga saya. Tapi, kok saya nggak merasakan apa-apa ya? apa saya kurang konsentrasi? apakah tarian jari telunjuk Daisy di depan mata saya memang tidak ada pengaruhnya? Wallahu A'lam. Dan saya akan cari kesempatan lain untuk melakukannya.
Sementara itu, di sebuah sudut kota Jakarta yang lain, praktek hipnotisme telah memakan begitu banyak korban. Pria, wanita, gadis, jejaka, orang kaya, orang biasa, siapapuan bisa jadi korbannya. Masih segar di ingatan saya, sebuah email dari miling list teman saya mengabarkan bahwa seorang wanita dan suaminya jadi korban komplotan penghipnotis yang beraksi di kawasan Semanggi. Dalam kejadian itu, harta benda dan kehormatannya terenggut di depan mata suaminya sendiri, tanpa ia dan suaminya merasa terpaksa sedikitpun. Di tempat yang lain, seorang pengurus masjid terpaksa menanggung malu karena uang kas masjidnya 'raib' secara tidak sadar dari rekening tabungan masjidnya. Di tempat yang lain lagi, seorang pengojek merelakan saja ketika seorang pelaku hipnotis 'meminta' sepeda motornya.
"Mau pulang ke mana, Mas?", tanya seorang pria berjaket hitam di bus kota jurusan Grogol-Kampung Rambutan pada saat saya pulang kantor malam harinya. Pertanyaan itu biasa, tapi tepukan di bahu saya menjadi tidak biasa karena setelah itu saya seakan terpaku kepadanya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, saya tepuk bahu pria itu dan menanyakan hal yang sama.
"Mas sendiri mau pulang ke mana?"
Dia cuma tersenyum. Diam dan hanya jarinya yang menunjuk ke depan seakan mengisyaratkan, "Saya mau turun di depan."
Saya senyum, lalu buang muka dan tak menghiraukan lagi ia bicara apa...
Comments