PITAK!!!
Pulang dari Jogja kok gue merasa rambut gue agak-agak gerah gitu, yah. Maklumlah, suhu udara di kota gudeg itu kan lagi lumayan hot-hotnya. Pas gue ngaca, halah... ternyata rambut gue pun udah gak karu-karuan. Mo dimodel spike ga bisa, dimodel landak juga acakadut.
"Jadi ilang deh gantengnya gue...[hueeeks]" Gitu pikir gue dalam hati sambil mengurut-ngurut dada saat menyaksikan pudarnya pesona gue di cermin.*gubraks*
Wah, gak ada cara lain lagi nih mengatasi krisis percaya diri gue ini, selain dengan sentuhan ajaib Kang Soleh, tukang cukur dekat rumah gue yang udah mangkal sepuluh tahun lebih di Kampung Duri. FYI, Kang Soleh ini putera sunda asli Kuningan yang punya muka mirip Farouk Afero [tahu gak? itu tuh, bintang felem Indonesia tahun 80-an, yang spesialis peran-peran antagonis]. Tapi, biar kata tampangnya sangar kayak Rambo, tapi hatinya teteuup Rinto... eh, salah ding, hatinya Rhoma, soale doi paling suka nyetel kaset-kasetnya bang Haji, heheheh...
Back to the topic, lah ya. Begitu dateng ke tempat operasinya Kang Soleh, dia langsung menyambut gue dengan sumringah. "Hei, Kang. Geus lila teu kadieu?" (Hei, Kang. Udah lama gak kesini, red).
"He eh, abis dari luar kota, Kang. Udah gerah nih", jawab gue sambil ngucek-ngucek rambut.
"Sok, mangga atuh, calik...", Kang Soleh mempersilakan gue duduk di kursi cukur yang udah lumayan kumel warnanya. Maklum, peninggalan Orde Baru, gitu loh. Dia pun dengan segera menutupi badan dan pundak gue dengan kain penutup supaya baju gue gak ketempelan rambut. Ssst, jangan bilang-bilang ya, aromanya udah lumayan ampuuuun deh. Kayaknya Kang Soleh udah lama lupa nyuci kainnya tuch.
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr." Kang Soleh mulai beraksi menyusuri liku kepala gue dengan mesin cukur rambut elektrik.
"Anu biasa kan, Kang"
"Iya. Jangan tipis-tipis ya kang"
Sementara itu, lantunan lagu Syahdu yang dilantunkan bang Haji Oma Irama sama Rita Sugiarto mengalun lembut....
Bila kamu di sisiku, hati rasaaaa syahdu
Satu hari, tak bertemu, hati rasaaaa rindu...
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr."
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr."
Tiga menit, lima menit, tujuh menit... lima belas menit berlalu...
Lagu-lagu Bang Haji masih setia menemani sesi pencukuran itu. "Duuuh, ganti lagunya kek," gerutu gue dalam hati. Tapi, Kang Soleh malah manggut-manggut keenakan. Haiyah... pasrah aja deh, daripada hasil cukuran gue gak sempurna.
Tapi, tiba-tiba gue tersentak. Kang Soleh kelamaan nyukur gue. Gak biasa-biasanya gue dicukur sampe 15 menit lebih. Padahal, dengan durasi sepuluh menit aja, model rambut gue udah oke [sebenernya sih standar, gue selalu minta dicepak kalo dicukurin, biar gak susah nyisirinnya, hehe].
"Kang, kang... stop Kang. Kayaknya ketipisan deh." Ucap gue sambil berharap-harap semoga hal yang gue takutkan gak terjadi. OMG, please help me...
"Aduuh, punten nya' Kang. Abdi teh keasyikan ngadengekeun tip." [Aduh, maaf ya Kang. Saya keasyikan dengerin tape]
Spontan gue meraba bagian belakang kepala gue, dan... hiks hiks hiks, terasalah sebuah daerah licin seukuran 2.5 x 1 cm (atau lebih...ga tau tuh) yang segera terekspos di cermin. Oh, Tuhan.... apa yang gue takutkan terjadi. "PITAK GUE KELIATAN.....!!!" Dengan lemas gue bilang sama Kang Soleh, "Kang...udah keliatan tuch. Ya udah deh, ditipisin aja sekalian, hiks hiks hiks..."
Kang SOleh cuma diem...kayaknya doi merasa bersalah gitu...
Selanjutnya, Kang Soleh berusaha konsentrasi nyukurin gue, mungkin takut pitak gue tambah terekspos lebih lebar lagi. Dia gak manggut-manggut lagi sampai cukuran gue rapih.
"Aduh, punten pisan Kang. Tadi abdi teu sengaja" Gitu penjelasan Kang Soleh pada saat gue bayar ongkos cukurannya. "Udah.. gak apa-apa, cukuran kayak gini juga keren kok, Kang." Ucap gue berusaha menenangkan Kang SOleh [Tapi sebenarnya hati gue ngebatiiin... duuuuh].
Di perjalanan pulang, sempat gue denger anak kecil bisik-bisik ke ibunya sambil liatin gue. "Bu, bu... masa kepalanya om itu pitakan...."
Gue cuma melototin anak kecil itu. "Sirik aja luh. Gini-gini pitak gue bawa hoki, tau...!" teriak gue dalam hati. Eh, si anak kecil itu malah tambah cengengesan. Dasar anak jaman sekarang, gak punya sopan santun, masih kecil udah berani ngeledekin orang tua, ntar kualat, lu! [btw, emang gue udah tua???]
Sebenarnya, gue udah cukup bisa menerima pitak di kepala gue ini. Tapi, tiap kali ada yang menanyakan atau mengomentari pitak gue, kenangan tentang penyebab pitak itu muncul kembali.....
Dua puluh dua tahun yang lalu, seorang anak lelaki kecil berusia tiga tahun, sedang menyusuri jalan setapak di dekat rumahnya. Ia menuju ke rumah teman bermainnya sambil menenteng sebuah radio butut. Untuk mencapai rumah temannya itu, ia harus melalui jalan yang sangat sempit di samping saluran selokan. Hujan yang turun malam sebelumnya membuat jalan kecil itu begitu licin. Dan pada sebuah pijakan yang kurang hati-hati, anak lelaki kecil yang lucu itu pun tergelincir dan jatuh kedalam selokan....
Hal selanjutnya yang diingatnya adalah kepalanya terbalut perban dengan sepuluh jahitan untuk menutup lukanya...
Tapi, pitak gue emang bawa hoki, kok [halah...mbela diri ajah lu, Nus!]
ps: mohon maaf, foto pitak gue gak bisa ditampilkan, takut melanggar UU penyiaran, gitu loh
"Jadi ilang deh gantengnya gue...[hueeeks]" Gitu pikir gue dalam hati sambil mengurut-ngurut dada saat menyaksikan pudarnya pesona gue di cermin.*gubraks*
Wah, gak ada cara lain lagi nih mengatasi krisis percaya diri gue ini, selain dengan sentuhan ajaib Kang Soleh, tukang cukur dekat rumah gue yang udah mangkal sepuluh tahun lebih di Kampung Duri. FYI, Kang Soleh ini putera sunda asli Kuningan yang punya muka mirip Farouk Afero [tahu gak? itu tuh, bintang felem Indonesia tahun 80-an, yang spesialis peran-peran antagonis]. Tapi, biar kata tampangnya sangar kayak Rambo, tapi hatinya teteuup Rinto... eh, salah ding, hatinya Rhoma, soale doi paling suka nyetel kaset-kasetnya bang Haji, heheheh...
Back to the topic, lah ya. Begitu dateng ke tempat operasinya Kang Soleh, dia langsung menyambut gue dengan sumringah. "Hei, Kang. Geus lila teu kadieu?" (Hei, Kang. Udah lama gak kesini, red).
"He eh, abis dari luar kota, Kang. Udah gerah nih", jawab gue sambil ngucek-ngucek rambut.
"Sok, mangga atuh, calik...", Kang Soleh mempersilakan gue duduk di kursi cukur yang udah lumayan kumel warnanya. Maklum, peninggalan Orde Baru, gitu loh. Dia pun dengan segera menutupi badan dan pundak gue dengan kain penutup supaya baju gue gak ketempelan rambut. Ssst, jangan bilang-bilang ya, aromanya udah lumayan ampuuuun deh. Kayaknya Kang Soleh udah lama lupa nyuci kainnya tuch.
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr." Kang Soleh mulai beraksi menyusuri liku kepala gue dengan mesin cukur rambut elektrik.
"Anu biasa kan, Kang"
"Iya. Jangan tipis-tipis ya kang"
Sementara itu, lantunan lagu Syahdu yang dilantunkan bang Haji Oma Irama sama Rita Sugiarto mengalun lembut....
Satu hari, tak bertemu, hati rasaaaa rindu...
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr."
"Kress, kress, kress. Zzzzzrrrr, zzzzrrrr."
Tiga menit, lima menit, tujuh menit... lima belas menit berlalu...
Lagu-lagu Bang Haji masih setia menemani sesi pencukuran itu. "Duuuh, ganti lagunya kek," gerutu gue dalam hati. Tapi, Kang Soleh malah manggut-manggut keenakan. Haiyah... pasrah aja deh, daripada hasil cukuran gue gak sempurna.
Tapi, tiba-tiba gue tersentak. Kang Soleh kelamaan nyukur gue. Gak biasa-biasanya gue dicukur sampe 15 menit lebih. Padahal, dengan durasi sepuluh menit aja, model rambut gue udah oke [sebenernya sih standar, gue selalu minta dicepak kalo dicukurin, biar gak susah nyisirinnya, hehe].
"Kang, kang... stop Kang. Kayaknya ketipisan deh." Ucap gue sambil berharap-harap semoga hal yang gue takutkan gak terjadi. OMG, please help me...
"Aduuh, punten nya' Kang. Abdi teh keasyikan ngadengekeun tip." [Aduh, maaf ya Kang. Saya keasyikan dengerin tape]
Spontan gue meraba bagian belakang kepala gue, dan... hiks hiks hiks, terasalah sebuah daerah licin seukuran 2.5 x 1 cm (atau lebih...ga tau tuh) yang segera terekspos di cermin. Oh, Tuhan.... apa yang gue takutkan terjadi. "PITAK GUE KELIATAN.....!!!" Dengan lemas gue bilang sama Kang Soleh, "Kang...udah keliatan tuch. Ya udah deh, ditipisin aja sekalian, hiks hiks hiks..."
Kang SOleh cuma diem...kayaknya doi merasa bersalah gitu...
Selanjutnya, Kang Soleh berusaha konsentrasi nyukurin gue, mungkin takut pitak gue tambah terekspos lebih lebar lagi. Dia gak manggut-manggut lagi sampai cukuran gue rapih.
"Aduh, punten pisan Kang. Tadi abdi teu sengaja" Gitu penjelasan Kang Soleh pada saat gue bayar ongkos cukurannya. "Udah.. gak apa-apa, cukuran kayak gini juga keren kok, Kang." Ucap gue berusaha menenangkan Kang SOleh [Tapi sebenarnya hati gue ngebatiiin... duuuuh].
Di perjalanan pulang, sempat gue denger anak kecil bisik-bisik ke ibunya sambil liatin gue. "Bu, bu... masa kepalanya om itu pitakan...."
Gue cuma melototin anak kecil itu. "Sirik aja luh. Gini-gini pitak gue bawa hoki, tau...!" teriak gue dalam hati. Eh, si anak kecil itu malah tambah cengengesan. Dasar anak jaman sekarang, gak punya sopan santun, masih kecil udah berani ngeledekin orang tua, ntar kualat, lu! [btw, emang gue udah tua???]
Sebenarnya, gue udah cukup bisa menerima pitak di kepala gue ini. Tapi, tiap kali ada yang menanyakan atau mengomentari pitak gue, kenangan tentang penyebab pitak itu muncul kembali.....
Hal selanjutnya yang diingatnya adalah kepalanya terbalut perban dengan sepuluh jahitan untuk menutup lukanya...
Tapi, pitak gue emang bawa hoki, kok [halah...mbela diri ajah lu, Nus!]
ps: mohon maaf, foto pitak gue gak bisa ditampilkan, takut melanggar UU penyiaran, gitu loh
Comments
it's just me : Pede?? pasti lah... trend 2006 kan rambut pitakan semua, hehehe
viga : muhun...
nizar : pitakan juga, toh? rambutku sekarang gaya army look kebablasan :-(
*supaya ditunjukin poto pitak nya he3x..* Salam kenal juga.
hihihihihihi