Surat Buat Bunda
Apa kabar, Bunda?
Aku mencoba mengerti kenapa langkahku mesti terpuruk di sini: di pinggiran ibu kota, di sebuah losmen murah, di sisi seorang pria gemuk separuh baya yang tidur mendengkur dengan nyenyaknya. Kucoba menghitung berapa banyak dosa yang telah kukumpulkan, bersama lembaran uang kumal yang terserak di atas meja.
Terlalu banyak, Bunda.
Tak sebanding dengan rupiah yang dapat kutangguk dengan merelakan tubuh ini dijamah berbagai iblis yang bersemayam di jasad lelaki-lelaki tak berhati.
Aku telah berhenti menangis, Bunda.
Sejak aku tersesat di hiruk pikuk kawasan Kota. Sejak seorang wanita mengajakku bekerja di rumahnya. Sejak aku tahu bahwa rumahnya adalah rumah para wanita penjaja birahi. Sejak harga diriku direnggut paksa suami wanita itu di depan matanya. Sejak aku melayani ratusan pencari kehangatan di sana. Sejak aku lima kali bolak-balik ke RSCM untuk menjahit luka, mengobati lebam, menyembuhkan patah tulang dan semua dera badani yang kualami di atas ranjang. Sejak aku digunduli saat mencoba lari dari tempat nista itu. Sejak tempat itu dirazia petugas dan sialnya, aku malah digarap beramai-ramai oleh aparat yang seharusnya melindungiku. Sejak tubuh lunglaiku dibuang di pinggir jalan dan entah... sejak apa lagi.
Aku merindukanmu, Bunda.
Seperti aku merindukan bidadari kecilku yang kuletakkan di gerbang sebuah yayasan panti asuhan di Jakarta Barat; beranjangkan kardus mie instan dan berkasurkan kain lusuh yang terkena bercak darah saat melahirkannya. Aku merindukan tangisannya meski hanya beberapa saat saja kudengar. Bila ia masih hidup, mungkin saat ini ia sudah fasih mengeja, Bunda. Aku ingin mendandaninya dengan dua pita merah di rambutnya seperti yang kau lakukan padaku. Aku ingin membisikkan di telinganya kata-kata yang dulu kau ucapkan padaku : "Cantik, Bunda sayang padamu. Bunda bangga padamu..." -meski aku tak pernah tahu siapa yang menjadi benihnya-
Rindukah kau padaku, Bunda?
Rindukah bidadariku padaku?
Aku ingin pulang, Bunda.
Namun aku terlalu kotor untuk memelukmu dalam mukenah itu. Aku terlalu sakit untuk kau obati. Aku terlalu jauh untuk kau dekati.
Aku selalu tahu bahwa ada ruang hangat dalam hatimu yang menantiku.
Dan bersama surat ini
aku titipkan cinta dan sedikit hasil usaha.
Tolong jangan kau tanyakan uang ini dari mana, Bunda. Namun aku bisa menjamin, ini bukan harga tubuhku.
Aku ingin kau menebus tanah yang dulu kita gadaikan untuk kepergianku ke Jakarta. Sisanya dapat kau gunakan untuk membeli bibit mawar. Hhhh, bukankah kau selalu bilang ingin melihat mawar mekar di halaman kita, secantik diriku kala itu?
Kini aku berusaha tetap hidup, Bunda.
Meski kutahu hidupku dalam ketidakpastian. Mereka bilang aku mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan. Namun aku tak boleh menyerah. Aku tak ingin mengalah. Biarlah azab ini memilinku dalam siksa di sisa umurku. Aku tak peduli.
Aku ingin menemukan bidadariku kembali. Aku ingin mempertemukannya denganmu agar kelak ada yang menjagamu.
Doakan aku, Bunda.
Karena aku tahu
doaku terlalu sumbang untuk didengar-Nya.
***Based on a true story***
Aku mencoba mengerti kenapa langkahku mesti terpuruk di sini: di pinggiran ibu kota, di sebuah losmen murah, di sisi seorang pria gemuk separuh baya yang tidur mendengkur dengan nyenyaknya. Kucoba menghitung berapa banyak dosa yang telah kukumpulkan, bersama lembaran uang kumal yang terserak di atas meja.
Terlalu banyak, Bunda.
Tak sebanding dengan rupiah yang dapat kutangguk dengan merelakan tubuh ini dijamah berbagai iblis yang bersemayam di jasad lelaki-lelaki tak berhati.
Aku telah berhenti menangis, Bunda.
Sejak aku tersesat di hiruk pikuk kawasan Kota. Sejak seorang wanita mengajakku bekerja di rumahnya. Sejak aku tahu bahwa rumahnya adalah rumah para wanita penjaja birahi. Sejak harga diriku direnggut paksa suami wanita itu di depan matanya. Sejak aku melayani ratusan pencari kehangatan di sana. Sejak aku lima kali bolak-balik ke RSCM untuk menjahit luka, mengobati lebam, menyembuhkan patah tulang dan semua dera badani yang kualami di atas ranjang. Sejak aku digunduli saat mencoba lari dari tempat nista itu. Sejak tempat itu dirazia petugas dan sialnya, aku malah digarap beramai-ramai oleh aparat yang seharusnya melindungiku. Sejak tubuh lunglaiku dibuang di pinggir jalan dan entah... sejak apa lagi.
Aku merindukanmu, Bunda.
Seperti aku merindukan bidadari kecilku yang kuletakkan di gerbang sebuah yayasan panti asuhan di Jakarta Barat; beranjangkan kardus mie instan dan berkasurkan kain lusuh yang terkena bercak darah saat melahirkannya. Aku merindukan tangisannya meski hanya beberapa saat saja kudengar. Bila ia masih hidup, mungkin saat ini ia sudah fasih mengeja, Bunda. Aku ingin mendandaninya dengan dua pita merah di rambutnya seperti yang kau lakukan padaku. Aku ingin membisikkan di telinganya kata-kata yang dulu kau ucapkan padaku : "Cantik, Bunda sayang padamu. Bunda bangga padamu..." -meski aku tak pernah tahu siapa yang menjadi benihnya-
Rindukah kau padaku, Bunda?
Rindukah bidadariku padaku?
Aku ingin pulang, Bunda.
Namun aku terlalu kotor untuk memelukmu dalam mukenah itu. Aku terlalu sakit untuk kau obati. Aku terlalu jauh untuk kau dekati.
Aku selalu tahu bahwa ada ruang hangat dalam hatimu yang menantiku.
Dan bersama surat ini
aku titipkan cinta dan sedikit hasil usaha.
Tolong jangan kau tanyakan uang ini dari mana, Bunda. Namun aku bisa menjamin, ini bukan harga tubuhku.
Aku ingin kau menebus tanah yang dulu kita gadaikan untuk kepergianku ke Jakarta. Sisanya dapat kau gunakan untuk membeli bibit mawar. Hhhh, bukankah kau selalu bilang ingin melihat mawar mekar di halaman kita, secantik diriku kala itu?
Kini aku berusaha tetap hidup, Bunda.
Meski kutahu hidupku dalam ketidakpastian. Mereka bilang aku mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan. Namun aku tak boleh menyerah. Aku tak ingin mengalah. Biarlah azab ini memilinku dalam siksa di sisa umurku. Aku tak peduli.
Aku ingin menemukan bidadariku kembali. Aku ingin mempertemukannya denganmu agar kelak ada yang menjagamu.
Doakan aku, Bunda.
Karena aku tahu
doaku terlalu sumbang untuk didengar-Nya.
Jakarta, 26 Agustus 2005
Yang selalu mencintaimu
Rose
***Based on a true story***
Comments
sedih yaaa di dunia ini masih ada yg nasibnya seperti Rose.