Buruh...Kopaja...Dan Gak Jadi Kerja

3 Mei 2006
Antrean panjang kendaraan dari arah grogol menuju Semanggi membuat gusar hampir seluruh penumpang Kopaja 88 jurusan Kalideres-Slipi. Kecuali seorang kakek yang
sedari tadi 'terjerembab' dalam mimpi siangnya di deretan kursi belakang. Hmm, andai saya dan penumpang lain bisa menikmati kenyamanan mimpi seperti itu,
pastinya kami tidak akan menggerutu dan menyumpah plus menyerapah pada kemacetan yang biasanya tidak terjadi di atas pukul sepuluh pagi seperti kali ini. Sial.

Gila, it's been almost two ours dari cengkareng.

Sementara itu, di lajur Busway, ratusan sepeda motor yang dinaiki orang-orang dengan ikat kepala melintas sambil meneriakkan, "Hidup buruh..hidup buruh.." Begitu berulang-ulang. Ibu tua yang duduk di samping saya mencibir.
"Iya, situ hidup hidup. Gua udah tua begini mau nengokin cucu gua yang baru lahir di Harapan Kita jadinya susah."
Saya cuma tersenyum kecut mendengarnya. Cewek manis di depan saya ikutan nimbrung.
"Iya nih, mana gue kena shift pagi, lagi. Bisa-bisa kena omelan lagi sama si Encik judes yang punya toko baju di Taman Anggrek nih"

Saya sendiri, memang sih, hari ini tidak ada liputan atau reka adegan untuk dikerjakan. Tapi saya tetap harus ke kantor karena besok akan ada reka adegan dan saya belum membuat scene list-[daftar adegan]nya. Malang... kemacetan yang konon disebabkan demo buruh di depan gedung MPR/DPR ini akhirnya membuat saya mengurungkan niat melanjutkan perjalanan ke kantor.

Baru saja saya hendak turun dari Kopaja, terdengar suara benturan kecil di sebelah saya. Kebetulan saya duduk dekat jendela di sisi kanan Kopaja.
"Dukkkk...dukkk..."
Spontan saya melayangkan pandang ke arah luar jendela. Di samping pintu supir, dua orang pengendara motor tengah mengacungkan tinjunya ke arah supir Kopaja. O,
ternyata mereka kesal karena Kopaja yang dikendarainya dianggap terlalu ke kanan. Sedangkan para buruh yang mengendarai motor untuk berdemo datang dalam jumlah besar. Lajur Busway di sisi kanan jalan sudah tidak muat lagi, sehingga mereka harus mengambil lajur bus kota dan angkutan umum.

"bla bla bla bla bla bla bla, ANJING...!"
"bla bla bla bla bla bla bla, MONYET...!"
Memusingkan. Tapi saya tidak ambil pusing. Meskipun dalam sepuluh detik terakhir kata-kata serapah yang saya dengar isinya cuma nama binatang, alat kelamin, dan aktivitas seksual.

"Mau demo kok ngomel-ngomel...", ucap nenek yang duduk
di samping saya membuyarkan perhatian saya. "Emangnya jalan bapak moyangnya,
apa?"
Saya cuma diam lagi. Supir dan kernet Kopaja berusaha untuk menyelesaikan amarah para buruh. Ah, berhasil. Si buruh dengan tubuh agak tambun yang tadi ngomel-ngomel akhirnya maju meneruskan perjalanan. Tapi sebelum cabut, dia menendang bumper kopaja,
diikuti rekan-rekan di belakangnya. Ada empat atau lima motor yang ikut-ikutan menendang tubuh kopaja. Memang sih, mereka cuma menendang sambil lalu. Tapi tetap
saja bikin dongkol penumpang Kopaja yang melihatnya.

Gila. Suasananya panas banget, nih.

"Hidup buruh...hidup buruh.."

Akhirnya sampai juga di halte Taman Anggrek. Gadis manis SPG taman anggrek yang tadi ngomel kelihatan sangat terburu-buru. Wah, pasti diomeln sama Encik-nya nih, pikir saya. Masa bodoh lah. Saya ikut turun dan menelepon PA(Production Assistant) Kejamnya Dunia, Aulia, untuk mengabarkan bahwa saya tidak bisa datang ke kantor hari ini. Saya bilang terus taerang bahwa jalanan yang macet sampai arah Semanggi tidak memungkinkan saya untuk datang ke kantor.

Sore harinya...TV tetangga habis-habisan menggempur layar kaca dengan berita mengenai demo buruh siang tadi. Ibu dan bapak saya yang menonton berita itu
sempat bertanya kepada saya,
"Lha elu kagak ikutan aja demo buruh biar keliatan di
TV juga, Nus...?"

Lha...saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya merasa bahwa saya juga buruh, dan turut mengerti kekhawatiran yang mereka rasakan tentang revisi Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun, kejadian siang itu, dan tindakan anarkis yang mereka lakukan saat mengungkapkan aspirasinya jelas membuat saya sedih. Seharusnya, mereka bisa mengungkapkan keinginan mereka dengan lebih damai, bercermin pada aksi buruh yang dilakukan pada tanggal 1 Mei kemarin. Seharusnya tidak ada tindakan brutal dan merusak dari mereka. Seharusnya aksi kemarin tidak akan dijadikan bahan penyalahan terhadap mereka.

Mungkin... seharusnya kemarin saya memang tidak perlu berangkat bekerja. Toh, pulangnya, kebetulan, ibu menelepon dan menyuruh saya untuk berbelanja keperluan bulanan. Ya, setidaknya, saya pulang tidak dengan sia-sia. Malam itu, saya dan orang tua duduk santai sambil menikmati mie instan rebus yang saya beli sorenya. Nikmat. Saya jadi teringat buruh-buruh yang tadi siang berdemo. Apakah mereka sempat makan tadi? apakah mereka menikmati demo itu? Apakah anak isteri mereka merasa cemas dengan keadaan mereka saat berdemo?? Sekejap, rasa kesal yang saya rasakan siang harinya lenyap. Mereka berjuang untuk kehidupan mereka, pikir saya. Saya tatap kedua orang tua saya. Sesekali mereka bilang,
"Coba elu ikut demo buruh tadi siang...."

[sekedar melepaskan uneg-uneg karena gak bisa
berangkat ke kantor hari itu]

Comments

Popular Posts