Ibu



Dalam gelap aku masih bisa mendengar hela napas ibu. Teratur, turun naik. Sesaat isakan tertahan mengacaukan ritmenya. Sesaat lagi napas itu terbungkam tak bersuara. Sesalkah yang terhirup ibu bersama pekatnya udara dalam dinding-dinding bilik berlapis kardus ini?

Dalam gelap aku masih bisa merasakan detak jantung ibu. Setelah reda hentak degupan sejurus lalu, ketukan-ketukan halus dalam rongga dadanya mengusik sepertiga malam terakhir. Bersamaku.

Dalam gelap kami tak mengucapkan kata. Entah kemana perginya. Keberanianku untuk menyapa atau bertanya hilang sudah. Seperti hilangnya kenangan akan seorang lelaki yang meninggalkan kami tanpa alasan sepuluh tahun lalu. Seperti bisu, ia hanya melambaikan tangan pada kami dan menguap bersama remang senja di Bantar Gebang. Ibu memelukku waktu itu. Tangan kurusnya merengkuh tubuhku agar tak berlari mengejar bayangan yang memudar di antara gunungan-gunungan sampah. Air mata menggenangi kedua pelupuk mataku, lalu mengalir seiring meledaknya tangisku memanggil-manggil lelaki yang hanya kukenal lewat sebuah sebutan : Bapak.

"Kenapa Bapak pergi, Bu?"
Ibu diam saja waktu itu. Sama seperti saat ini. Kebisuan menggerogoti keberadaanku di ruangan sempit ini. Ibu seakan tak peduli aku ada di sini.

Perlahan ibu menarik kain yang terserak di sampingnya. Menutupi tubuhnya. Andai saja aku bisa melihat wajah ibu. Andai saja aku bisa menatap garis mukanya saat ini. Namun kegelapan sialan ini menghalangi pandangan mataku. Sudah sejak sejam yang lalu lilin di atas pecahan genting di atas rak reot di sudut dekat pintu gubuk berpintu satu ini padam. Aku tak terlalu pusing, sih, sebenarnya. Aku dan ibu terbiasa memejamkan mata tanpa penerangan memadai. Toh, kilasan cahaya lampu-lampu jalan di dekat sini bebas menyeruak masuk melalui celah-celah [baca : lubang] dinding seukuran ibu jari yang bertebaran di empat penjuru gubuk kami. Ibu sering berdongeng tentang peri baik hati yang akan masuk melalui lubang dinding dan meninggalkan makanan lezat untuk kami keesokan paginya. Blah! Nyatanya, tiap pagi, aku harus menerima kenyataan bahwa tak ada sarapan meskipun hanya sebutir nasi. Sarapan yang kukenal adalah bau menyengat dan lalat berseliweran yang bersumber dari tumpukan sampah di sekitarku.

Sungguh, tempat ini bukan negeri dongeng yang indah untuk kukisahkan. Meskipun begitu, aku tak pernah bosan meminta ibu bermain-main dengan imajinasinya, menciptakan dunia penuh kebahagiaan untuk kami, walau hanya sebatas pengantar kami tidur.

Ya. Tidur. Seharusnya saat ini kami tengah terlelap dalam dalamnya mimpi. Esok kami harus kembali terbangun untuk mengusung karung-karung berisi rongsokan apapun yang laku dijual kembali : plastik, kardus, kertas, besi, aluminium, paku, bahkan obat-obatan kadaluarsa. Geli juga jika mengingat obat-obatan bekas yang kujual kepada Bang Petot masih ada yang mau mengkonsumsi. Ya, tentu saja mereka yang tidak tahu kalau itu adalah obat baru tapi lama. Mereka mungkin tak pernah curiga mengapa obat-obatan tersebut bisa berharga sedemikian miring di kios Bang Petot. Ah, sudahlah. Kenapa pula jadi memikirkan dia. Aku seharusnya memikirkan ibu. Ia masih diam. Tangannya masih sibuk membenahi kain yang barusan dipakainya. Setelah itu, ia menggapai bajunya yang terlempar sejengkal dari tempatku duduk.

Aku berusaha membantunya dengan menyodorkan baju itu kepadanya. Namun, tampaknya ibu tidak mau dibantu. Ia dengan cepat menarik baju itu dan menarik tubuhnya kembali mundur ke sudut. Aku tak mengerti mengapa ibu tak mau dibantu olehku kali ini. Biasanya aku selalu memberikan tanganku untuk meringankan bebannya. ; mengangkat karung-karung yang berat; mendorong gerobak yang terisi penuh tiap sore hari; memapahnya saat ia tak kuat berjalan; memijat punggungnya saat ia mengeluh pegal; menghajar preman yang suka memeras kami di ujung gang.

Sungguh, akan kupertaruhkan segalanya untuk membantu meringankan beban ibu. Seperti malam tadi.

"Tutupi tubuh nistamu!!! Aku tak ingin melihatnya."
Tiba-tiba saja ibu berkata dengan lantang kepadaku.
Refleks, aku mengarahkan muka ke tubuhku sendiri. Dalam kegelapan aku memang tak dapat melihat tubuh telanjangku. Namun aku dapat merasakan udara dini hari mulai merembas masuk melalui pori-porinya. Dingin.

"Cepat, tutupi!" pinta ibu lagi. Aku bergeming. Aku biarkan tubuh polosku seperti ini agar dapat merasakan lagi surga seperti semalam. Bukan, bukan surga yang berada di telapak kaki ibu, tetapi surga yang berada di seluruh tubuh ibu.

Surga itukah yang membuatku lahir dari rahimnya?
Surga itukah yang membuat bapak sering pergi lama waktu itu?
Surga itukah yang membuat bapak memilih untuk meninggalkan kami? Karena ada surga yang lain?
Surga itukah yang selalu ibu sembunyikan dariku semenjak aku kecil? Agar aku tak melakukan hal yang sama seperti bapak?
Tidak. Aku bukan bapak. Dan aku tak akan menelantarkan ibu. Aku akan selalu memeluk ibu dalam gigilnya. Aku akan selalu menyeka peluh ibu dalam penatnya. Aku akan selalu membelai ibu dalam gundahnya. Aku akan...

"Pergi!!! Dan bawa dosamu ke neraka!!!" teriak ibu kepadaku saat aku beranjak mendekatinya.
Neraka??? Neraka mana lagi yang harus aku tuju? Bukankah tinggal di sini sama saja dengan tinggal di neraka? Bukankah berkutat di hamparan sampah yang entah berapa luasnya ini, sama saja berkelana di neraka? Bukankah bergumul dengan preman atau pemulung lain di sini sama saja bergumul dengan penghuni neraka? Bukankah makan nasi basi sisa orang lain sama saja makan makanan neraka?

"Bu. Aku hanya ingin melindungi Ibu."
Tanganku menggapai tangannya.
"Aah. Singkirkan tangan kotormu dari tubuhku. Singkirkan! Singkirkan! Singkirkan!"
Berkali-kali ibu menepis uluran tanganku. Rasa pedas menjalari kulit tanganku karena tepisan ibu yang cukup keras. Ibu begitu kalap kali ini. Hingga umurku 17 tahun saat ini tak pernah sekalipun aku melihat ibu begitu marah. Tak pernah. Saat bapak pergi sepuluh tahun lalu ibu tidak marah atau menangis. Saat aku memukul Bolang, teman memulungku sampai masuk klinik dan ibu harus membiayai pengobatannya, ibu tidak murka padaku. Saat petugas Tramtib mengobrak-abrik gubuk lama kami tahun lalu, ibu tidak meradang. Namun, kali ini, semua amarah yang dulu terkubur dalam batinnya seakan tumpah sejadi-jadinya. Bahkan dalam kegelapan ini aku seakan-akan bisa melihat rona marah merah menyala dalam bola mata ibu.

Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Kali ini kuraih tubuh ibu dalam rangkulan tanganku. Aku ingin ibu merasakan kulitku bertemu kulitnya. Seperti tetes air yang dinanti tenggorokan yang kering kehausan. Aku ingin ibu tahu betapa aku mengagumi sosoknya sebagai wanita yang kuat, tegar dan pantang menyerah. Aku ingin ibu tahu betapa ia masih terlihat cantik meskipun gurat-gurat derita membaluri kesat wajahnya. Aku ingin ibu tahu bahwa ia juga wanita yang harus dilindungi oleh aku, anak lelakinya. Aku ingin ibu tahu bahwa ia juga berhak untuk merasakan sentuhan seorang lelaki, entah siapapun itu.

Aku ingin ibu tahu bahwa ialah wanita dalam hidupku.

Aku merengkuh ibu. Aku ciptakan dongeng tentang peri yang terluka karena ditinggalkan pangerannya. Peri itu adalah ibu, dan aku adalah pangeran yang akan menolong ibu. Aku bangun istana khayalku untuk ibu. Aku lukiskan surga yang fana untukku dan dia.
Aku mengerang. Peri itu tak nyata untukku.
Aku memburu. Menghela keegoan jantanku.
Aku tak tahu ibu menangis.
Aku tak tahu air matanya tumpah ruah sehabis-habisnya.
Aku tak tahu darah siapa yang mengalir dalam tubuhku. Ibu tak pernah bercerita tentang bapak lagi. Aku tak tahu mengapa darah ini memaksaku mencintai ibu dengan cara jahiliah. Terlebih, surga yang semalam hadir di tubuh ibu membutakanku. Berkali-kali.

Ibu tak lagi bersuara. Seperti waktu bapak melangkah pergi? Tidak... jauh sebelum itu. Ibu tak bersuara seperti saat seorang bajingan membekap mulutnya dan memaksanya menjadi seorang wanita di usia 12 tahun. Bajingan yang sangat dikenalnya. Bajingan yang selama 12 tahun hidupnya dipanggil Ayah olehnya. Bajingan yang menguras air mata ibu tiap malam selama berbulan-bulan sampai ibu merasakan adanya kehidupan dalam perutnya. Bajingan yang membuang ibu ke Bantar Gebang bersama bayi yang dikandungnya. Bajingan yang membuat ibu hampir mati menabrakkan diri di rel kereta api Bekasi. Bajingan yang tak mengijinkan ibu pulang ketika bayinya lahir ke dunia. Bajingan yang tak menganggap aku anaknya.
Bajingan itu, tak lain adalah kakekku, ayahku, atau ayah ibuku sendiri.
Dan ibu tak pernah menceritakannya kepadaku.

Ibu hanya diam.
Jadi jangan salahkan aku jika darah bajingan ini terus menguasai naluriku.
Kami hanya sedang menciptakan dongeng tentang peri, pangeran dan surga. Itu saja. Lalu kalian pasti bertanya siapa bapak yang meninggalkan kami sepuluh tahun lalu. Oh ya, dia hanya tukang sampah baik hati yang 'menjaga' ibu dan aku sampai waktunya tiba untuk kembali ke isteri lamanya.

Comments

Anonymous said…
Waduhhh ini postingan perih amat yaaak :D
btw ini fotnya dimana ? bantar gebang ?

Way
L. Pralangga said…
It is deep, indeed... I am sure we all earn a lot from this entry.
-----------------------
Noest, I am a bit free now - so buzz me!
Anonymous said…
ini kisah nyata??? woahhh sangat mengiris hati...
Anonymous said…
serem dan sedih mas...sungguh...??!!!

Popular Posts