Balada Nenek dan Hujan
Nenek tua itu terduduk di pinggir trotoar jalan. Di wajahnya terpahat penat yang mendera. Pakaian kebaya jawanya terlihat lusuh, selusuh nasibnya di ibukota. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan-genangan air di mana-mana. Becek. Lembap. Nenek itu menutup payung yang baru saja di pakainya untuk melindungi diri dari terpaan air hujan. Agak tersendat-sendat juga ia berusaha melakukannya, sebab tenaga tuanya sudah terkuras untuk berjalan beberapa kilometer dari rumahnya untuk menjajakan sedikit barang dagangan. Ya, barang dagangan yang ia letakkan di atas tampah yang ditumpuk di atas sebuah bakul.
"Sudah sesore ini, namun belum satupun daganganku laku terjual", keluhnya pada diri sendiri.
Matanya menoleh ke berbagai penjuru, melayangkan harapan ada seseorang yang membutuhkan sekedar camilan ala kampung. Hmmm, sore ini sangat lengang. Hampir tidak ada orang yang lalu lalang di sekitar halte seberang gedung Depnaker di jalan Gatot Subroto. Kendaraan pun hanya beberapa saja yang melintas. Hujan jadi alasan orang untuk berbetah-betah di rumah. Selain itu, ini hari Minggu, hari dimana orang libur kerja. Pantas saja, lengang sekali. Biasanya, di sore hari-hari kerja, para karyawan perkantoran di sekitar sini ramai memadati halte untuk menyetop bus yang membawa mereka pulang ke rumah.
Aaah, mungkin si nenek haus. Ia mengusap tenggorokannya sekali, lalu membuka bakul yang tertutup oleh tampah berisi dagangannya. Dari dalam bakul ia mengeluarkan sebuah botol bekas air mineral yang berisi air teh. Botol itu ditutup dengan plastik kresek yang diikat karet gelang. Segera ia membuka plastik yang menutup mulut botol dan meneguk sedikit isinya untuk melepaskan dahaganya. Setelah itu, kembali ia menatap kosong ke arah jalanan. Sesekali melepaskan pandang ke jembatan penyeberangan di depan gedung Depnaker, mencari satu dua sosok yang melintas di sana. Ya, ada. Seorang lelaki paruh baya dan seorang lelaki muda berusia dua puluhan turun dari arah jembatan penyeberangan. Batinnya berharap dalam doa, semoga sepercik rejeki masuk ke kantung uangnya kali ini.
Si lelaki paruh baya berjalan agak tergesa-gesa. Mungkin ia ingin segera sampai ke rumah sebelum terguyur hujan yang sepertinya ingin menyiram bumi lagi. Ia bahkan tidak menoleh ke arah si nenek yang menatapnya dengan mengiba. Dalam matanya terpancar doa yang sederhana. Ya, doa agar dagangannya habis dan ia bisa membeli beras serta lauk seadanya. Namun, doa itu nampaknya tak terdengar lelaki paruh baya itu, karena ia terus saja mempercepat langkahnya menjauh dari tempat nenek itu duduk.
"Mungkin belum rejekiku", pikirnya.
Ia pun menoleh ke arah lelaki muda yang tadi berada beberapa meter di belakang lelaki paruh baya itu. Wajah lelaki itu terlihat serius. Langkahnya lebar-lebar, sama seperti lelaki sebelumnya. Ah, musim hujan memang membuat wajah orang-orang begitu dingin. Mengapa banyak sekali yang menganggap hujan sebagai musuh? Bukankah mereka juga mengeluh saat musim kemarau mendera? Tampaknya manusia memang makhluk yang sangat sulit untuk merasa puas dan mensyukuri karunia-Nya. Saat hujan turun, panas yang melanda bumi selama beberapa bulan kan terhapus seketika. Udara saat hujan pun mampu menyejukkan hati.
"Andai aku tak harus melewati banyak waktu untuk mencari uang, aku pasti akan sangat menikmati musim hujan ini..", ujar nenek itu dalam hati. Ya, ia teringat masa-masa menyenangkan saat ia kecil. Ia biasa menikmati musim hujan dalam dekapan hangat bunda dan celoteh jenaka bapaknya mendongeng. Rintik hujan di luar rumah terdengar seperti simfoni alam yang membuai alam khayalnya.
"Tapi itu dulu...dulu sekali. Jauh sebelum aku beranjak besar, menikah dan memiliki anak, menjadi tua dengan suami sakit-sakitan dan anak yang satu-persatu meninggalkanku."
Nenek itu mendesah untuk kesekian kalinya. Hidup memang bergulir tanpa bisa dicegah. Ia tak menyesal menjadi dewasa, menikah, memiliki anak dan bertambah tua. Ia hanya ingin menjalani hidup apa adanya seperti yang digariskan oleh Sang Pemberi Kehidupan. Kalaupun dalam perjalanannya ada duri dan sembilu yang menusuk perih, ia anggap sebagai bumbu yang melengkapi kisahnya. Termasuk, sang suami yang kini terbaring sakit di rumah. Pelan ia menyelami benaknya yang tiba-tiba terasa begitu haru. Lelaki yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu kini tak berdaya, diserang penyakit paru-paru dan ketuaan. Lelaki yang ia kagumi itu kini hanya bisa bergantung pada cucunya yang menjaga selama isterinya pergi berdagang. Meskipun begitu, cintanya tak pernah surut. Ia akan berusaha apa saja untuk kesembuhannya dan untuk kehidupan mereka.
"Aku melamun lagi," sadarnya.
Lelaki muda yang tadi berjalan di atas jembatan penyeberangan semakin dekat dari tempatnya terduduk. Langkah lelaki berjaket abu-abu itu tergesa, seakan tak bisa dihentikan bahkan dengan tatapan paling memelas sekalipun. Sebenarnya dari kejauhan lelaki muda itu telah memperhatikan nenek pedagang yang nestapa itu. Namun hatinya masih ragu memutuskan untuk iba ataukah bersikap apatis. Sama seperti si nenek, lelaki itu yakin bahwa hidup telah memiliki jalurnya masing-masing. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha keras menjalani jalur tersebut sampai akhir. Kalaupun si nenek itu terlihat begitu menderita, itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia terima sebagai ketentuan dari Tuhan. Ia tidak ingin tertipu oleh penampilan luar. Banyak orang yang terlihat nelangsa hidup di Jakarta tetapi punya penghasilan di atas UMR. Terdengar skeptis?? mungkin. Lelaki itu seorang jurnalis, atau lebih tepatnya seorang yang mencoba untuk menjadi jurnalis. Kantornya terletak tidak jauh dari jembatan penyeberangan itu.
Untuk mencapai kantornya lelaki itu hanya butuh waktu sekitar lima menit. Namun langit yang mendung membuatnya ingin sampai di kantor lebih cepat lagi. Ia tak ingin tersiram hujan hanya karena langkahnya terlalu santai. Sempat perhatiannya tertuju pada nenek penjual camilan itu. Ia memandang sekilas ke wajah nenek itu. Ia memandang sekilas ke arah tampah bambu yang sebagian tertutup oleh plastik putih. Sungguh sederhana dagangan nenek itu. Ada pisang rebus, kacang rebus dan ubi rebus yang jumlahnyapun tak seberapa. Ditambah dengan penampilan fisik sang nenek, jadilah sebuah pemandangan yang membuat hati terenyuh.
Sejenak ia merasa iba. Ia teringat sosok neneknya yang telah lama meninggal. Ia tak bisa membayangkan jika seorang nenek yang seharusnya beristirahat di rumah harus berkeliaran di jalan mencari penghasilan. Itu pun dengan dagangan yang nilai jualnya pun kecil. Bahkan kalau boleh jujur, jarang orang yang berniat untuk membelinya.
Lelaki muda itu melangkah ke arah nenek tua itu.
Lelaki muda itu menatap nenek tua itu.
Nenek tua itu menatap lelaki muda itu.
Lelaki muda itu melangkah tepat di depan nenek tua itu.
Nenek tua itu tetap menatap lelaki muda itu.
Lelaki muda itu melangkah melewati nenek tua itu.
Nenek tua itu tetap menatap lelaki muda itu. Di hatinya tersimpan doa yang mungkin sulit untuk terkabulkan. Ia hanya minta agar dagangannya terbeli. Namun lelaki muda yang tadi melewatinya seakan tak peduli. Ia terus melangkah dan melangkah.
"Hmmmmh, dia pergi..." gumamnya dalam hati sambil membereskan dagangannya. Jemari keriputnya mengatur letak pisang, kacang dan ubi rebus di atas tampah sambil bersiap-siap untuk melangkah pergi. Ia harus berjalan ke tempat yang ramai orang. Kalau tidak, bisa-bisa dagangannya tak laku dan ia harus menanggung rugi. Artinya, besok bisa-bisa ia tak beli beras.
"Pisang rebusnya berapa, Mak?" Tiba-tiba ia dikejutkan suara dari arah belakang tubuhnya. Ternyata itu adalah lelaki muda yang tadi melewatinya. Lelaki muda itu kembali ke tempatnya karena ia ingin mencicipi pisang rebus si nenek. Sebenarnya rasa ibanya lah yang menuntunnya. Ia tak bisa memberikan apa-apa, hanya saja ia berharap, seulas senyum bisa terkembang di bibir nenek itu setelah dagangannya ada yang membeli.
"Sewu Mangatus", jawab si nenek.
"Berapa?," lelaki itu tak begitu mengerti apa yang diucapkan si nenek.
"OOh, seribu lima ratus sepasangnya, dek. Kalau kacangnya seribu, Ubi rebusnya juga seribu."
Lelaki muda itu memilih dua pasang pisang dan dua bungkus kacang. Semuanya jadi lima ribu rupiah. Si nenek mengambil kantong plastik hitam dan membungkus pisang dan kacang yang dibeli. Lelaki muda itu mengeluarkan dompet dari saku celananya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah, lalu menyerahkannya ke si nenek. Si nenek pun mengeluarkan uang yang tersimpan buntalan kain kecil dari bakulnya. Saat ingin diberikan kembaliannya, lelaki itu menolak.
"Simpan aja, Mak," ucapnya sambil menatap wajah nenek itu, sambil tersenyum.
"Wah.. matur nuwun, dek. Ini penglaris lho, dari tadi belum ada yang mbeli dagangan saya." Senyum tak putus dari bibirnya saat mengucapkan itu.
"Sama-sama, Mak. Kok sendirian aja dagangnya? Nggak ada yang bantuin?" tanya lelaki muda itu sambil membuka sebungkus kacang rebus dan menikmatinya.
"Wah, sopo yang mau bantuin saya?? Anak-anak saja wis pada kawin. Hidupnya juga susah kayak saya." Ujarnya seakan membatin.
Lelaki muda itu mengangguk-angguk.
"Kalau suami Mak?"
"Wah, dek. Suami saya gak bisa ngapa-ngapain. Sekarang lagi sakit di rumah. Kena paru-paru. Kesian, sudah tua"
"Jadi, cuma Mak aja yang cari uang?"
"Ya begitu. Di rumah cuma ada suami sama cucu yang kecil, yang jaga suami saya."
Begitulah. Lelaki muda itu berbincang-bincang dengan nenek penjual kacang rebus itu
mengenai kehidupannya yang sulit. Kehidupan yang tak ubahnya cuaca, suatu ketika begitu cerah dan dipenuhi sinar matahari, dan di lain ketika begitu mendung dan gelap. Nenek itu merasa bersyukur. Bukan hanya karena dagangannya ada yang membeli, namun juga karena ada yang mau mendengarkan keluh-kesahnya. Walaupun hanya sebatas mendengar. Bagaimanapun juga, ia teringat pada satu firman Tuhan bahwa yang dapat mengubah kehidupan suatu kaum adalah diri mereka sendiri. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk menaikkan taraf hidupnya. Ia juga yakin, bahwa Tuhan maha melihat dan mendengar terhadap kesulitan hamba-Nya. Sampai detik ini, ia tahu bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik baginya. Ia tak menyesal harus menyusuri jalanan menjajakan dagangan dengan penghasilan tak seberapa. Ia tak gentar meskipun terbakar terik matahari ataupun terguyur hujan. Yang ia tahu, rejeki dari Yang Maha Pemurah berserakan di muka bumi ini, dan ia harus menjemputnya.
Segera setelah lelaki muda yang membeli dagangannya melanjutkan perjalanan ke kantornya, sebuah stasiun televisi swasta di sana, nenek tua itupun bergegas pergi. Mendung memang masih memeluk cakrawala. Namun seberkas cahaya cerah meliputi hatinya. Ia yakin, akan ada pembeli lain dan malam ini ia bisa pulang membawa makanan untuk suami dan cucunya.
"Sudah sesore ini, namun belum satupun daganganku laku terjual", keluhnya pada diri sendiri.
Matanya menoleh ke berbagai penjuru, melayangkan harapan ada seseorang yang membutuhkan sekedar camilan ala kampung. Hmmm, sore ini sangat lengang. Hampir tidak ada orang yang lalu lalang di sekitar halte seberang gedung Depnaker di jalan Gatot Subroto. Kendaraan pun hanya beberapa saja yang melintas. Hujan jadi alasan orang untuk berbetah-betah di rumah. Selain itu, ini hari Minggu, hari dimana orang libur kerja. Pantas saja, lengang sekali. Biasanya, di sore hari-hari kerja, para karyawan perkantoran di sekitar sini ramai memadati halte untuk menyetop bus yang membawa mereka pulang ke rumah.
Aaah, mungkin si nenek haus. Ia mengusap tenggorokannya sekali, lalu membuka bakul yang tertutup oleh tampah berisi dagangannya. Dari dalam bakul ia mengeluarkan sebuah botol bekas air mineral yang berisi air teh. Botol itu ditutup dengan plastik kresek yang diikat karet gelang. Segera ia membuka plastik yang menutup mulut botol dan meneguk sedikit isinya untuk melepaskan dahaganya. Setelah itu, kembali ia menatap kosong ke arah jalanan. Sesekali melepaskan pandang ke jembatan penyeberangan di depan gedung Depnaker, mencari satu dua sosok yang melintas di sana. Ya, ada. Seorang lelaki paruh baya dan seorang lelaki muda berusia dua puluhan turun dari arah jembatan penyeberangan. Batinnya berharap dalam doa, semoga sepercik rejeki masuk ke kantung uangnya kali ini.
Si lelaki paruh baya berjalan agak tergesa-gesa. Mungkin ia ingin segera sampai ke rumah sebelum terguyur hujan yang sepertinya ingin menyiram bumi lagi. Ia bahkan tidak menoleh ke arah si nenek yang menatapnya dengan mengiba. Dalam matanya terpancar doa yang sederhana. Ya, doa agar dagangannya habis dan ia bisa membeli beras serta lauk seadanya. Namun, doa itu nampaknya tak terdengar lelaki paruh baya itu, karena ia terus saja mempercepat langkahnya menjauh dari tempat nenek itu duduk.
"Mungkin belum rejekiku", pikirnya.
Ia pun menoleh ke arah lelaki muda yang tadi berada beberapa meter di belakang lelaki paruh baya itu. Wajah lelaki itu terlihat serius. Langkahnya lebar-lebar, sama seperti lelaki sebelumnya. Ah, musim hujan memang membuat wajah orang-orang begitu dingin. Mengapa banyak sekali yang menganggap hujan sebagai musuh? Bukankah mereka juga mengeluh saat musim kemarau mendera? Tampaknya manusia memang makhluk yang sangat sulit untuk merasa puas dan mensyukuri karunia-Nya. Saat hujan turun, panas yang melanda bumi selama beberapa bulan kan terhapus seketika. Udara saat hujan pun mampu menyejukkan hati.
"Andai aku tak harus melewati banyak waktu untuk mencari uang, aku pasti akan sangat menikmati musim hujan ini..", ujar nenek itu dalam hati. Ya, ia teringat masa-masa menyenangkan saat ia kecil. Ia biasa menikmati musim hujan dalam dekapan hangat bunda dan celoteh jenaka bapaknya mendongeng. Rintik hujan di luar rumah terdengar seperti simfoni alam yang membuai alam khayalnya.
"Tapi itu dulu...dulu sekali. Jauh sebelum aku beranjak besar, menikah dan memiliki anak, menjadi tua dengan suami sakit-sakitan dan anak yang satu-persatu meninggalkanku."
Nenek itu mendesah untuk kesekian kalinya. Hidup memang bergulir tanpa bisa dicegah. Ia tak menyesal menjadi dewasa, menikah, memiliki anak dan bertambah tua. Ia hanya ingin menjalani hidup apa adanya seperti yang digariskan oleh Sang Pemberi Kehidupan. Kalaupun dalam perjalanannya ada duri dan sembilu yang menusuk perih, ia anggap sebagai bumbu yang melengkapi kisahnya. Termasuk, sang suami yang kini terbaring sakit di rumah. Pelan ia menyelami benaknya yang tiba-tiba terasa begitu haru. Lelaki yang telah menemaninya selama puluhan tahun itu kini tak berdaya, diserang penyakit paru-paru dan ketuaan. Lelaki yang ia kagumi itu kini hanya bisa bergantung pada cucunya yang menjaga selama isterinya pergi berdagang. Meskipun begitu, cintanya tak pernah surut. Ia akan berusaha apa saja untuk kesembuhannya dan untuk kehidupan mereka.
"Aku melamun lagi," sadarnya.
Lelaki muda yang tadi berjalan di atas jembatan penyeberangan semakin dekat dari tempatnya terduduk. Langkah lelaki berjaket abu-abu itu tergesa, seakan tak bisa dihentikan bahkan dengan tatapan paling memelas sekalipun. Sebenarnya dari kejauhan lelaki muda itu telah memperhatikan nenek pedagang yang nestapa itu. Namun hatinya masih ragu memutuskan untuk iba ataukah bersikap apatis. Sama seperti si nenek, lelaki itu yakin bahwa hidup telah memiliki jalurnya masing-masing. Sebagai manusia, kita hanya bisa berusaha keras menjalani jalur tersebut sampai akhir. Kalaupun si nenek itu terlihat begitu menderita, itu adalah bagian dari kehidupan yang harus ia terima sebagai ketentuan dari Tuhan. Ia tidak ingin tertipu oleh penampilan luar. Banyak orang yang terlihat nelangsa hidup di Jakarta tetapi punya penghasilan di atas UMR. Terdengar skeptis?? mungkin. Lelaki itu seorang jurnalis, atau lebih tepatnya seorang yang mencoba untuk menjadi jurnalis. Kantornya terletak tidak jauh dari jembatan penyeberangan itu.
Untuk mencapai kantornya lelaki itu hanya butuh waktu sekitar lima menit. Namun langit yang mendung membuatnya ingin sampai di kantor lebih cepat lagi. Ia tak ingin tersiram hujan hanya karena langkahnya terlalu santai. Sempat perhatiannya tertuju pada nenek penjual camilan itu. Ia memandang sekilas ke wajah nenek itu. Ia memandang sekilas ke arah tampah bambu yang sebagian tertutup oleh plastik putih. Sungguh sederhana dagangan nenek itu. Ada pisang rebus, kacang rebus dan ubi rebus yang jumlahnyapun tak seberapa. Ditambah dengan penampilan fisik sang nenek, jadilah sebuah pemandangan yang membuat hati terenyuh.
Sejenak ia merasa iba. Ia teringat sosok neneknya yang telah lama meninggal. Ia tak bisa membayangkan jika seorang nenek yang seharusnya beristirahat di rumah harus berkeliaran di jalan mencari penghasilan. Itu pun dengan dagangan yang nilai jualnya pun kecil. Bahkan kalau boleh jujur, jarang orang yang berniat untuk membelinya.
Lelaki muda itu melangkah ke arah nenek tua itu.
Lelaki muda itu menatap nenek tua itu.
Nenek tua itu menatap lelaki muda itu.
Lelaki muda itu melangkah tepat di depan nenek tua itu.
Nenek tua itu tetap menatap lelaki muda itu.
Lelaki muda itu melangkah melewati nenek tua itu.
Nenek tua itu tetap menatap lelaki muda itu. Di hatinya tersimpan doa yang mungkin sulit untuk terkabulkan. Ia hanya minta agar dagangannya terbeli. Namun lelaki muda yang tadi melewatinya seakan tak peduli. Ia terus melangkah dan melangkah.
"Hmmmmh, dia pergi..." gumamnya dalam hati sambil membereskan dagangannya. Jemari keriputnya mengatur letak pisang, kacang dan ubi rebus di atas tampah sambil bersiap-siap untuk melangkah pergi. Ia harus berjalan ke tempat yang ramai orang. Kalau tidak, bisa-bisa dagangannya tak laku dan ia harus menanggung rugi. Artinya, besok bisa-bisa ia tak beli beras.
"Pisang rebusnya berapa, Mak?" Tiba-tiba ia dikejutkan suara dari arah belakang tubuhnya. Ternyata itu adalah lelaki muda yang tadi melewatinya. Lelaki muda itu kembali ke tempatnya karena ia ingin mencicipi pisang rebus si nenek. Sebenarnya rasa ibanya lah yang menuntunnya. Ia tak bisa memberikan apa-apa, hanya saja ia berharap, seulas senyum bisa terkembang di bibir nenek itu setelah dagangannya ada yang membeli.
"Sewu Mangatus", jawab si nenek.
"Berapa?," lelaki itu tak begitu mengerti apa yang diucapkan si nenek.
"OOh, seribu lima ratus sepasangnya, dek. Kalau kacangnya seribu, Ubi rebusnya juga seribu."
Lelaki muda itu memilih dua pasang pisang dan dua bungkus kacang. Semuanya jadi lima ribu rupiah. Si nenek mengambil kantong plastik hitam dan membungkus pisang dan kacang yang dibeli. Lelaki muda itu mengeluarkan dompet dari saku celananya dan mengeluarkan uang sepuluh ribu rupiah, lalu menyerahkannya ke si nenek. Si nenek pun mengeluarkan uang yang tersimpan buntalan kain kecil dari bakulnya. Saat ingin diberikan kembaliannya, lelaki itu menolak.
"Simpan aja, Mak," ucapnya sambil menatap wajah nenek itu, sambil tersenyum.
"Wah.. matur nuwun, dek. Ini penglaris lho, dari tadi belum ada yang mbeli dagangan saya." Senyum tak putus dari bibirnya saat mengucapkan itu.
"Sama-sama, Mak. Kok sendirian aja dagangnya? Nggak ada yang bantuin?" tanya lelaki muda itu sambil membuka sebungkus kacang rebus dan menikmatinya.
"Wah, sopo yang mau bantuin saya?? Anak-anak saja wis pada kawin. Hidupnya juga susah kayak saya." Ujarnya seakan membatin.
Lelaki muda itu mengangguk-angguk.
"Kalau suami Mak?"
"Wah, dek. Suami saya gak bisa ngapa-ngapain. Sekarang lagi sakit di rumah. Kena paru-paru. Kesian, sudah tua"
"Jadi, cuma Mak aja yang cari uang?"
"Ya begitu. Di rumah cuma ada suami sama cucu yang kecil, yang jaga suami saya."
Begitulah. Lelaki muda itu berbincang-bincang dengan nenek penjual kacang rebus itu
mengenai kehidupannya yang sulit. Kehidupan yang tak ubahnya cuaca, suatu ketika begitu cerah dan dipenuhi sinar matahari, dan di lain ketika begitu mendung dan gelap. Nenek itu merasa bersyukur. Bukan hanya karena dagangannya ada yang membeli, namun juga karena ada yang mau mendengarkan keluh-kesahnya. Walaupun hanya sebatas mendengar. Bagaimanapun juga, ia teringat pada satu firman Tuhan bahwa yang dapat mengubah kehidupan suatu kaum adalah diri mereka sendiri. Ia bertekad melakukan yang terbaik untuk menaikkan taraf hidupnya. Ia juga yakin, bahwa Tuhan maha melihat dan mendengar terhadap kesulitan hamba-Nya. Sampai detik ini, ia tahu bahwa Tuhan telah memberikan yang terbaik baginya. Ia tak menyesal harus menyusuri jalanan menjajakan dagangan dengan penghasilan tak seberapa. Ia tak gentar meskipun terbakar terik matahari ataupun terguyur hujan. Yang ia tahu, rejeki dari Yang Maha Pemurah berserakan di muka bumi ini, dan ia harus menjemputnya.
Segera setelah lelaki muda yang membeli dagangannya melanjutkan perjalanan ke kantornya, sebuah stasiun televisi swasta di sana, nenek tua itupun bergegas pergi. Mendung memang masih memeluk cakrawala. Namun seberkas cahaya cerah meliputi hatinya. Ia yakin, akan ada pembeli lain dan malam ini ia bisa pulang membawa makanan untuk suami dan cucunya.
Comments
base on your own true story ya bro..
mo nangis bacanya :(
sedih bacanya
nice writing bro!!
masih ketemu ama nenek itu ga ?
Masih banyak yg bs di gali tuh dari
cerita si nenek.
virzha : hiks hiks.. cup cup.. tabahkan hatimu ya jha...
Ling : di luar sana masih banyak lagi manula yang harus berjuang untuk mencari sesuap nasi, Ling.
Bebek : lebih bagus lagi kalo foto ente yang udah keriput dipasang, kang, hehe
Tatari : makasih, makasiih...
Lucy : walah, apa nggak kebalik?? harusnya gue yang belajar dari situ...
Anca : sayang banget, sampe sekarang blum ketemu lagi sama nenek itu Ca.. I just hope she'll be fine.
virzha : hiks hiks.. cup cup.. tabahkan hatimu ya jha...
Ling : di luar sana masih banyak lagi manula yang harus berjuang untuk mencari sesuap nasi, Ling.
Bebek : lebih bagus lagi kalo foto ente yang udah keriput dipasang, kang, hehe
Tatari : makasih, makasiih...
Lucy : walah, apa nggak kebalik?? harusnya gue yang belajar dari situ...
Anca : sayang banget, sampe sekarang blum ketemu lagi sama nenek itu Ca.. I just hope she'll be fine.
Hanya seorang supranatural yang bisa membaca pikiran si Nenek tua itu begitu detil. Jadi, saya berkesimpulan, bahwa kalimat itu adalah opini si penulis.
Hm.... beranjak besar dan menjadi tua adalah kodrat. Menikah dan memiliki anak adalah pilihan. Jadi, jangan pernah disesali.
Menyesali pilihan yang telah diputuskan, kemudian mengeluh, akan membuat rejeki dan kemudahan hidup semakin membentang menjauh.
Nimmatilah segala kodrat dan pilihan hidup yang telah dijalani. Niscaya, kebahagiaan seakan selalu datang tak diundang....Insya Allah.
Setiap orang, pasti memiliki kebahagiaan diantara ratusan kerut wajah serta lusuh kain yang dikenakannya. Cuma, standar bahagia kita berbeda-beda. Bedoalah untuk mereka agar mereka tak lupa bersyukur juga.
(ehem.... berasa ya kalau umur udah 41 tahun ini... huahahaha)